PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PENYEBARAN TREN SENI

PERAN MEDIA SOSIAL DALAM PENYEBARAN TREN SENI

Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com | Peran Media Sosial dalam Penyebaran Tren Seni:

Dulu, menikmati seni berarti kita harus pergi ke galeri atau museum, tetapi kini, kita cukup menikmatinya dengan menggulir layar ponsel. Instagram, TikTok, dan Pinterest menjadi ‘etalase digital’ bagi seniman untuk memamerkan karya mereka ke seluruh dunia. 

Seni yang dulunya eksklusif kini semakin inklusif, menjangkau berbagai kalangan tanpa batasan geografis. Bahkan, seni bukan lagi sekadar dipajang, melainkan juga menjadi bagian dari tren yang hidup melalui format video, filter, atau tantangan interaktif.

Peran Media Sosial dalam Penyebaran Tren Seni  

Namun, perubahan ini juga menghadirkan tantangan baru. Algoritma media sosial menuntut konten yang cepat dan menarik agar tidak tenggelam dalam lautan informasi. Seniman harus menyesuaikan diri dengan format pendek seperti TikTok dan YouTube Shorts agar karyanya mendapat eksposur maksimal. Tidak sedikit yang merasa harus ‘mengorbankan’ kompleksitas seni mereka demi engagement, membuat seni lebih seperti hiburan instan ketimbang ekspresi mendalam.
 

Tren Seni yang Berkembang di Media Sosial

Setiap tahun, media sosial melahirkan tren seni baru yang menarik perhatian. Konsep aesthetic art seperti cottagecore, vaporwave, dan dark academia mendominasi Instagram dan TikTok, menciptakan gaya visual khas yang banyak diadaptasi oleh seniman. 

Selain itu, process video, yaitu video yang memperlihatkan tahapan pembuatan karya seni, juga sangat digemari karena memberikan pengalaman imersif bagi penonton. Seni digital berbasis AI dan generative art semakin naik daun, memperluas cakupan seni dengan sentuhan teknologi.

Di sisi lain, seni interaktif juga berkembang pesat. Tantangan seperti "draw this in your style" (DTIYS) atau kolaborasi digital antar-seniman semakin populer, memungkinkan audiens ikut terlibat dalam proses kreatif. Fenomena ini membuat seni terasa lebih hidup dan dinamis, bukan hanya sebagai karya yang diamati, tetapi juga sebagai medium ekspresi yang berkembang bersama komunitasnya.

Algoritma dan Viralnya Karya Seni

Viralnya sebuah karya seni di media sosial bukan sekadar kebetulan, tetapi sangat dipengaruhi oleh algoritma. TikTok dan YouTube Shorts memprioritaskan konten yang menarik perhatian dalam beberapa detik pertama, sehingga seniman harus pintar dalam menyajikan karya mereka dengan cara yang engaging. Musik latar, storytelling, dan tren hashtag menjadi faktor penting agar sebuah karya masuk FYP (For You Page) dan mendapatkan lebih banyak eksposur.

Namun, ketergantungan pada algoritma juga menghadirkan dilema. Banyak seniman merasa harus mengikuti tren demi visibilitas, meskipun hal itu tidak sesuai dengan gaya atau visi kreatif mereka. 

Ada juga fenomena "trend fatigue", di mana karya seni cepat viral tetapi juga cepat terlupakan. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah seni harus selalu menyesuaikan diri dengan algoritma, atau tetap bertahan dengan orisinalitas meskipun berisiko tidak mendapat perhatian?
 

Seniman yang Sukses Karena Media Sosial

Banyak seniman yang berhasil meraih popularitas dan pendapatan berkat media sosial. Misalnya, beberapa ilustrator yang dulu hanya berbagi sketsa di Instagram kini mendapatkan proyek besar atau bahkan menerbitkan buku karena viralnya karya mereka. 

Nama-nama seperti Loish, SamDoesArts, Muklay dan Audra Auclair adalah contoh seniman yang sukses membangun komunitas online dan mengembangkan karier mereka.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa media sosial bisa menjadi peluang besar bagi seniman, asal mereka bisa memanfaatkannya dengan strategi yang tepat. 

Konsistensi dalam berkarya, memahami algoritma, dan berinteraksi dengan audiens adalah kunci sukses dalam dunia seni digital. Bagi seniman pemula, memulai dari challenge atau tren tertentu bisa menjadi langkah awal untuk menarik perhatian lebih banyak orang.
 

Tantangan dan Kontroversi dalam Dunia Seni Digital

Di balik peluang besar yang ditawarkan media sosial, ada juga tantangan yang perlu dihadapi. Salah satu masalah utama adalah pencurian karya. Dengan begitu mudahnya sebuah gambar diunduh dan digunakan tanpa izin, banyak seniman yang merasa dirugikan. Bahkan, beberapa karya seni sering kali digunakan oleh brand besar tanpa memberikan kredit atau royalti kepada pembuatnya.

Bahkan banyak desain dari seniman yang mungkin belum begitu terkenal tapi digunakan oleh brand-brand besar dan kemudian mereka mengklaimnya. Cara-cara seperti yang pada akhirnya menimbulkan budaya baru, yakni "cancel culture" di mana banyak seniman yang merasa dirugikan menggunakan sosial media untuk mencari keadilan dengan mem-blow up kasusnya di timeline mereka dan mencari dukungan publik.  

Selain itu, munculnya AI Art juga menimbulkan perdebatan. Beberapa seniman merasa terancam karena kecerdasan buatan bisa menghasilkan gambar dalam hitungan detik, sedangkan mereka membutuhkan waktu berjam-jam hingga berhari-hari untuk menyelesaikan sebuah karya. Meskipun AI bisa menjadi alat yang membantu, banyak yang khawatir jika seni buatan manusia akan semakin terpinggirkan dalam era digital ini.
 

Masa Depan Seni di Era Media Sosial

Dengan semakin berkembangnya teknologi dan media sosial, seni akan terus bertransformasi. Beberapa seniman mulai menjelajahi NFT (Non-Fungible Token) dan Web3 sebagai cara baru untuk mendistribusikan dan memonetisasi karya mereka. 

Platform seperti Foundation, OpenSea, dan SuperRare memungkinkan seniman menjual karya mereka secara digital dengan sistem blockchain, memberikan kepemilikan eksklusif kepada kolektor.

Namun, terlepas dari tren teknologi, satu hal yang tetap bertahan adalah kekuatan komunitas seni di media sosial. Baik melalui tantangan seni, tutorial, atau sekadar berbagi inspirasi, media sosial akan terus menjadi ruang penting bagi seniman untuk berkembang. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan kreativitas dengan dinamika algoritma agar seni tetap memiliki makna di tengah derasnya arus digitalisasi.

Posting Komentar

0 Komentar