WAYANG BEBER: LUKISAN BERCERITA DARI TANAH JAWA

WAYANG BEBER: LUKISAN BERCERITA DARI TANAH JAWA

Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com | Wayang Beber: Lukisan Bercerita dari Tanah Jawa yang Hampir Terlupakan.

Pernah mendengar tentang seni wayang beber? Mungkin buat kalian yang tinggal di wilayah Pacitan, sudah tidak asing dengan jenis seni ini. Namun, bagi saya yang tinggal di wilayah ujung timur Pulau Jawa, sejujurnya saya baru menemukan seni visual ini setelah melakukan riset untuk mengisi blog ini. 

Wayang Beber: Lukisan Bercerita dari Tanah Jawa yang Hampir Terlupakan

Saya akui gaes, bahwa sumber literasi saya memanglah sangat terbatas, termasuk ketika mencari seni visual asli Indonesia selain batik. Saya baru sadar bahwa ternyata, ada jenis seni tradisional lain yang dipergunakan untuk pertunjukkan khusus wayang, yang namanya wayang beber. 

Sebenarnya sih, seni visual di Indonesia itu sangat banyak dan beragam. Bahkan kalau kita lihat tentang budaya ogoh-ogoh di Pulau Dewata, kita juga disuguhi visual, yang tak hanya menakutkan tapi juga artistik. Namun, tetap saja banyak jenis seni yang belum terangkat atau jarang dibahas di era modern seperri sekarang. 

Sejarah Wayang Beber: Jejak Narasi Visual Tertua dari Jawa

Oleh Gunkarta - Karya sendiri, CC BY-SA 3.0, 

Wayang Beber adalah salah satu bentuk seni penceritaan tertua di Jawa, bahkan diyakini sudah ada jauh sebelum wayang kulit dikenal luas. Berbeda dari pertunjukan wayang lainnya yang menggunakan boneka, wayang beber menghadirkan kisah melalui lembaran panjang bergambar yang digulung.

Lembar-lembar ini berisi adegan-adegan penting dari cerita yang dihidangkan kepada penonton secara berurutan, seiring sang dalang membuka dan menceritakan satu demi satu bagian kisahnya.

Catatan asing pertama mengenai pertunjukan wayang beber berasal dari abad ke-15, ketika Ma Huan dan Fei Xin mencatat dalam Ying-Yai-Sheng-Lan tentang masyarakat Jawa yang berkumpul menyaksikan seseorang bercerita sambil menunjuk gambar-gambar pada lembaran yang sebagian tergulung. 

Pertunjukan ini mereka saksikan saat mengikuti kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Jawa pada masa pemerintahan Wikramawardhana dari Kerajaan Majapahit. Praktik tersebut mencerminkan bentuk awal dari pertunjukan wayang beber yang dikenal hingga kini. Meski demikian, dalam tradisi pujangga Jawa, asal usul wayang beber diyakini sudah ada sejak masa Kerajaan Pajajaran.

Wayang beber menyampaikan kisah melalui lukisan adegan-adegan yang dibuat di atas kain atau deluwang, dan dimainkan dengan cara membuka gulungan satu per satu sesuai urutan cerita. Dalang bertugas membacakan narasi serta dialog yang menyertai tiap adegan. 

Seiring masuknya ajaran Islam, terutama melalui peran Sunan Kalijaga, bentuk wayang ini dimodifikasi menjadi wayang kulit—menghindari representasi makhluk hidup secara realistis, demi menyesuaikan dengan nilai-nilai Islam. 

Dari sinilah muncul bentuk wayang kulit penuh ornamen yang digunakan para Walisanga untuk dakwah, sekaligus menjadi ikon budaya pewayangan yang dikenal masyarakat hingga sekarang.

Tradisi ini diperkirakan sudah ada sejak masa Kerajaan Kediri atau Majapahit, dan terus diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga dalang di wilayah tertentu seperti Pacitan, Jawa Timur. Meski kini jumlah pertunjukannya sangat terbatas, warisan ini tetap menyala sebagai cahaya kecil yang menolak padam di tengah arus zaman.

Lebih dari Sekadar Gambar: Wayang Beber sebagai Medium Spiritual dan Estetik

generate AI

Wayang beber bukan hanya lukisan di atas kertas atau kain. Ia adalah seni narasi yang utuh, menggabungkan visual, sastra lisan, musik gamelan, dan nilai-nilai spiritual. Setiap gulungan cerita menggambarkan adegan dengan gaya dua dimensi yang dekoratif dan penuh warna simbolik. Warna merah bisa melambangkan keberanian, biru menggambarkan kedalaman jiwa, sementara emas mewakili kemuliaan dan nilai spiritual.

Sang dalang berperan sebagai penjaga makna. Ia tidak hanya membacakan cerita, tetapi juga menjadi penyampai filosofi dan pesan moral yang terkandung dalam setiap adegan. Cerita yang dibawakan biasanya berasal dari kisah epik seperti Mahabharata, Ramayana, atau sejarah kerajaan Jawa dalam bentuk babad. 

Di masa lalu, pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, melainkan upacara budaya yang sakral—menjadi bagian dari ritus kehidupan, pendidikan batin, dan media komunikasi dengan yang gaib.

Lukisan dalam wayang beber dibuat di atas media khusus seperti kertas daluang atau kain, menggunakan pewarna alami dari alam. Sentuhan kuasnya menyimpan nilai yang tak tergantikan, karena setiap garis bukan sekadar bentuk visual, melainkan jalan bagi ingatan kolektif masyarakat Jawa. 

Dalam gulungan yang tampak sederhana itu, tersimpan struktur narasi yang mengajarkan kesabaran, kedalaman rasa, dan penghargaan terhadap waktu yang mengalir perlahan.

Kini, ketika dunia bergerak cepat dan visual hadir dalam sekejap layar, wayang beber hadir sebagai pengingat: bahwa seni bisa menghidupkan kisah, bukan sekadar menunjukkan gambar. Ia mengajak kita kembali menghargai proses, menyimak dengan hati, dan membangun kedekatan dengan akar-akar budaya yang memberi kita identitas. Dalam setiap gulungan yang dibuka, kita seperti menyelami fragmen jiwa leluhur yang masih ingin bercerita.

Posting Komentar

0 Komentar