Selama ini, saya mengira seni tari hanya soal koreografi yang dipertontonkan di atas panggung: indah, anggun, memukau. Tapi ternyata ada satu sisi lain yang pelan-pelan saya pahami—bahwa tari tidak hanya menghibur penonton, melainkan juga bisa menjadi bahasa yang menyembuhkan bagi si penari sendiri. Inilah yang saya temukan dalam dunia Dance Therapy, seni yang menyatukan gerak, jiwa, dan proses penyembuhan emosional.
APA SIH DANCE THERAPY?
Dance Therapy atau dikenal juga sebagai Dance/Movement Therapy (DMT) adalah pendekatan terapi yang menggunakan gerakan tubuh sebagai cara untuk mengeksplorasi dan menyembuhkan emosi. Di sini, tubuh bukan hanya alat ekspresi, tapi juga pintu masuk untuk memahami isi batin yang mungkin terlalu sulit diucapkan dengan kata-kata. Saya belajar bahwa trauma atau luka emosional seringkali tinggal di dalam tubuh, dan menari—meski sederhana—bisa menjadi cara untuk melepaskannya.
Gerakan sebagai Bahasa Emosi
Pernahkah kamu menangis saat menonton seseorang menari? Mungkin bukan gerakannya yang luar biasa, tapi energi yang terpancar darinya. Itu yang membuat saya sadar bahwa tubuh manusia menyimpan cerita—tentang luka, kehilangan, harapan, dan perjuangan. Dalam Dance Therapy, penari tak diwajibkan “pandai” menari. Yang penting adalah kesediaannya hadir sepenuhnya dalam tubuhnya dan bergerak dengan jujur. Ini adalah bentuk kejujuran yang jarang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya belajar bahwa katarsis bukan melulu soal menangis. Dalam konteks Dance Therapy, katarsis bisa terjadi saat tubuh berhasil “meluruhkan” ketegangan yang terpendam. Setiap gerakan bisa menjadi pernyataan emosional yang tersimpan bertahun-tahun.
Misalnya, gerakan memutar seperti melingkupi diri sendiri bisa mewakili perasaan ingin dilindungi, atau langkah berat dan lambat bisa mencerminkan beban batin yang telah lama dipikul.
Yang membuat saya nyaman dalam belajar tentang terapi tari ini adalah prinsip dasarnya: tidak ada gerakan yang salah. Setiap individu bebas mengeksplorasi tubuhnya sesuai kondisi dan emosinya. Ini berbeda dari kelas tari biasa yang penuh tuntutan teknik. Dalam Dance Therapy, keaslian lebih penting daripada kesempurnaan. Ini membuat pengalaman terapetik menjadi sangat personal dan aman secara psikologis.
Hubungan Antara Tari dan Psikologi
Psikologi modern, terutama pendekatan somatik, menyadari bahwa tubuh menyimpan “memori emosional.” Artinya, peristiwa-peristiwa masa lalu—terutama yang traumatis—bisa terekam dalam bentuk postur, ketegangan otot, atau pola gerak tertentu. Dance Therapy memfasilitasi tubuh untuk “bicara” dan mengurai ingatan itu secara lembut. Saya belajar bahwa penyembuhan kadang datang bukan dari menganalisis pikiran, tapi dari mengizinkan tubuh untuk melepaskan apa yang ia simpan diam-diam.
Terapi tari telah digunakan dalam banyak konteks: dari penyintas trauma, penderita depresi, gangguan kecemasan, hingga anak-anak dengan autisme. Studi menunjukkan bahwa praktik ini dapat meningkatkan suasana hati, memperbaiki kepercayaan diri, dan membantu seseorang lebih terhubung dengan dirinya sendiri.
Hal ini memperkuat gagasan bahwa seni, terutama gerak, adalah jembatan antara tubuh dan jiwa—dan bahwa kita semua bisa belajar untuk menyehatkan jiwa lewat seni, tanpa harus menjadi seniman.
Saya pribadi masih belajar memahami semua ini. Saya belum ikut sesi terapi tari, tapi bahkan hanya dengan menyadari bahwa tubuh saya bisa menjadi alat penyembuhan, saya merasa lebih terhubung dengan diri sendiri. Bahwa menari bukan soal panggung, tapi soal hadir di dalam tubuh dan merasakan apa yang ingin ia sampaikan. Proses ini membebaskan. Dan saya rasa, itu juga bagian dari bentuk cinta pada diri sendiri.
Dance Therapy di Indonesia: Tumbuh Diam-Diam
Di Indonesia sendiri, Dance Therapy belum seterkenal di negara-negara Eropa atau Amerika. Namun, benih-benih kesadaran akan potensi seni tari sebagai terapi mulai tumbuh. Beberapa mahasiswa telah mulai membahasnya dalam tulisan ilmiah mereka, seperti yang bisa dilihat dalam jurnal “PENGARUH DANCE MOVEMENT THERAPY DAN TARI KELINCIKU TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK
KASAR ANAK USIA 4-5 TAHUN” oleh Mahasiswa Universitas Riau.
KASAR ANAK USIA 4-5 TAHUN” oleh Mahasiswa Universitas Riau.
Meskipun belum banyak praktisi bersertifikasi resmi di bidang ini, komunitas healing, yoga, hingga seni kontemporer mulai membuka ruang untuk eksplorasi gerak bebas sebagai bentuk penyembuhan. Saya membayangkan, suatu hari nanti, pendekatan ini bisa diterima lebih luas—sebagai bentuk terapi yang menyatukan budaya, seni, dan kesadaran diri.
Saya belajar bahwa kita tidak perlu menjadi penari profesional untuk bisa merasakan keajaiban terapi ini. Kita hanya perlu keberanian untuk menyentuh emosi yang tersembunyi di balik gerakan kecil. Menari bukan hanya milik mereka yang tampil di atas panggung—tapi milik siapa pun yang ingin pulih, terhubung, dan berdamai dengan diri. Dan di sanalah keindahan sejatinya bermula.
0 Komentar
Dalam beberapa kasus kolom komentarnya tidak mau terbuka, Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.