SIMBOL: BAHASA DIAM DI ERA DIGITAL

SIMBOL: BAHASA DIAM DI ERA DIGITAL

Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com | SIMBOL: BAHASA DIAM DI ERA DIGITAL.

Hi Gaes, mungkin kalian tidak asing dengan gaya ilustrasi yang ada dalam Blog ini. Yup, ilustrasi digital ini memang saya buat dengan AI, sehingga nuansanya cenderung sama dari waktu ke waktu. Hal ini bukan tanpa tujuan. 

Sama seperti Blog yang membutuhkan niche, dalam membangun branding saya juga ingin menciptakan karakter dalam setiap ilustrasinya. Mengingat saya tidak membuatnya secara manual, maka saya menggunakan "simbol" untuk menciptakan karakter. Dan berikut alasan serta perspektif saya dalam membangun simbol untuk berkarya. 

SIMBOL: BAHASA DIAM DI ERA DIGITAL

Di tengah dunia digital yang serba cepat, simbol menjadi oasis yang sunyi. Ia tak menjerit, tak memaksa, tak memanjakan visual secara instan. Tapi siapa yang menyelaminya, akan menemukan dunia yang jauh lebih dalam dibandingkan ribuan kata. Simbol, dalam seni dan kehidupan, adalah jembatan yang menghubungkan dunia dalam dengan dunia luar—ia bukan hanya hiasan, tapi sistem makna yang hidup.

Sejak zaman purba, manusia menciptakan simbol untuk memahami yang tak bisa dijelaskan. Matahari tak hanya sumber cahaya, tapi lambang kehidupan dan ketuhanan. Ular tak hanya binatang melata, tapi metafora transformasi dan pengetahuan tersembunyi. Dalam setiap goresan, ukiran, atau gerakan, simbol menjadi bahasa spiritual yang tak terikat oleh aksara maupun bahasa lisan.

Simbol sebagai Jembatan Antara Diri dan Dunia

Simbol sebagai Jembatan Antara Diri dan Dunia

Namun hari ini, simbol mengalami krisis. Di era notifikasi dan konten instan, manusia terbiasa pada kejelasan yang cepat. Simbol yang perlu direnungkan, ditafsir, dan diproses perlahan, sering dianggap terlalu rumit. Padahal, di balik simbol ada kebijaksanaan yang tak bisa ditemukan di headline atau kolom komentar.

Membentuk simbol bukan perkara estetika belaka. Ia adalah proses penggalian diri. Seniman atau kreator yang menciptakan simbol, sejatinya sedang merangkum pengalaman eksistensial dalam bentuk yang bisa dirasakan oleh banyak orang. Ketika seseorang memilih jamur, neuron, atau spiral DNA sebagai simbol, ia sedang berbicara tentang hidup, memori, dan keterhubungan yang tidak kasat mata.

Simbol juga punya kekuatan untuk melampaui waktu dan teknologi. Ia bisa ditanam dalam lukisan, puisi, video game, bahkan antarmuka aplikasi. Simbol yang kuat tidak hanya dikenali, tapi dirasakan. Ia memunculkan resonansi emosional dan intuitif yang tidak butuh penjelasan panjang. Bahkan dalam dunia digital, ia tetap bisa menjadi pintu untuk pemahaman yang lebih dalam.

Membaca yang Tak Tertulis di Dunia Serba Cepat

Pertanyaannya: bagaimana kita bisa belajar dari simbol di zaman ketika makna sering dilewati begitu saja? 

Jawabannya ada pada keberanian untuk berhenti sejenak. Untuk tidak buru-buru menyimpulkan. Untuk memberi ruang kepada diri kita sendiri agar menyentuh inti pesan yang disampaikan lewat bentuk, bukan hanya kata. Merenungi satu simbol bisa lebih mencerahkan daripada membaca sepuluh artikel viral.

Membaca yang Tak Tertulis di Dunia Serba Cepat

Sebagai seniman atau penikmat seni, kita bisa memulai dari simbol pribadi. Apa yang sering muncul dalam mimpimu? Apa benda, bentuk, atau alam yang terasa "berbicara" padamu? Itulah awal pencarianmu. Simbol tidak harus universal. Yang paling bermakna justru yang muncul dari proses hidupmu sendiri—yang menyimpan luka, harapan, atau doa yang tersembunyi.

Simbol yang dibentuk dari kesadaran personal akan bertumbuh dan bergema. Ketika kamu membagikannya dalam karya, ia akan menemukan orang-orang yang sedang mencari makna yang sama. Dan di titik itu, seni menjadi ruang spiritual kolektif, bukan hanya pajangan visual. Ia membangun koneksi batin, bahkan tanpa suara.

Di dunia yang haus akan koneksi cepat, simbol mengajarkan kesabaran. Di dunia yang dibanjiri data, simbol menuntun pada kebijaksanaan. Ia adalah bahasa yang tak pernah usang, karena ia ditulis bukan dengan tinta, tapi dengan jiwa.

Mungkin, justru di era digital yang serba tergesa, kita butuh lebih banyak simbol. Bukan sebagai tren, tapi sebagai pengingat: bahwa makna tidak selalu ada di layar—kadang ia bersembunyi dalam bentuk, dalam bayangan, dalam yang tak terucap.

Posting Komentar

0 Komentar