NIHONGA: GAYA LUKIS TRADISIONAL JEPANG DI ERA MODERN

NIHONGA: GAYA LUKIS TRADISIONAL JEPANG DI ERA MODERN

Konnichiwa, Tomo-Chan!

Tomo kembali dengan berbagi informasi tentang gaya lukis. Kali ini masih melanjutkan tentang jenis gaya lukis dari Negeri Sakura, Tomo mencatat tentang Nihonga, sebuah teknik tradisional yang masih sangat diminati di era digital. 

NIHONGA: GAYA LUKIS TRADISIONAL JEPANG DI ERA MODERN

Di balik kecanggihan dunia seni kontemporer Jepang, terdapat satu bentuk lukisan yang tenang, hening, dan sarat makna: Nihonga. Meskipun istilah ini muncul pada akhir abad ke-19, akar teknik dan estetikanya jauh lebih tua, bahkan berabad-abad sebelum modernisasi Jepang dimulai. Nihonga bukan sekadar gaya lukis, tetapi juga representasi bagaimana Jepang menjaga warisan visualnya di tengah gelombang pengaruh Barat.

Gaya ini lahir dari semangat pelestarian. Saat Jepang mulai membuka diri terhadap dunia luar di era Meiji, seni lukis Barat (dikenal dengan istilah Yōga) masuk dan menjadi dominan. Sebagai responsnya, para seniman Jepang mencetuskan Nihonga yakni sebuah cara untuk mempertahankan teknik, bahan, dan filosofi lokal sambil tetap berevolusi. Maka, meskipun tradisional, Nihonga tetap relevan dan hidup hingga hari ini.

Melalui artikel ini, kita akan menjelajahi lebih jauh apa itu Nihonga, sejarah dan karakternya, seniman-seniman penting yang menghidupkannya, serta bagaimana ia tetap bertahan di tengah arus globalisasi seni modern.

Apa Itu Nihonga?

Gaya Lukis Nihonga

Nihonga (日本画), secara harfiah berarti "lukisan Jepang." Istilah ini muncul pada masa Restorasi Meiji (akhir abad ke-19), saat pemerintah Jepang mulai terbuka terhadap teknologi dan budaya Barat. Dalam bidang seni, ini menyebabkan lonjakan minat terhadap seni lukis Barat yang dikenal sebagai Yōga. Sebagai respons terhadap arus tersebut, para pelukis tradisional Jepang menciptakan kategori "Nihonga" untuk membedakan karya mereka yang masih menggunakan bahan dan teknik tradisional.

Ciri khas Nihonga adalah pemanfaatan material asli Jepang seperti iwa enogu (pigmen mineral alami), nikawa (lem hewani), sumi (tinta hitam), dan washi (kertas Jepang) atau sutra. Teknik pelapisan warna dilakukan secara perlahan, menciptakan efek transparan dan lembut yang berbeda dengan pendekatan lukisan Barat yang cenderung tebal dan bertekstur. 

Dalam proses pembuatannya, seniman Nihonga harus memahami karakteristik bahan-bahan ini secara mendalam, karena sifat alaminya tidak dapat dipaksakan.

Meski berbasis tradisi, tema lukisan Nihonga bisa sangat beragam. Mulai dari pemandangan alam, bunga, dan hewan, hingga potret perempuan atau narasi-narasi spiritual. Namun, yang membuat Nihonga istimewa adalah pendekatannya terhadap waktu dan ruang. Tidak tergesa-gesa, penuh kesabaran, dan menghormati keheningan sebagai bagian dari ekspresi.

Ciri Khas Nihonga dalam Teknik dan Estetika

Nihonga tidak hanya dikenal karena bahannya yang unik, tetapi juga karena filosofi estetikanya yang mendalam. Komposisi lukisan Nihonga sering menampilkan ruang kosong (ma) yang bukan sekadar latar, tetapi memiliki makna simbolis. Ma memberikan napas pada lukisan, menciptakan ritme visual yang tenang dan mengundang perenungan. Dalam budaya Jepang, ruang kosong adalah bagian penting dari keindahan—bukan kekosongan, tetapi potensi.

Sapuan warna dalam Nihonga sangat lembut dan berlapis-lapis. Karena menggunakan pigmen alami, warnanya tampak menyatu dengan kertas atau sutra, bukan "mengambang" di atasnya. Ini menghasilkan kesan organik dan mendalam. Efek transparansi dan pencahayaan alami pun menjadi ciri kuat dari Nihonga. Lukisan ini tidak mencolok, tetapi justru memikat lewat kesederhanaan dan kehalusannya.

Selain itu, Nihonga kerap mengangkat motif dari alam seperti bunga sakura, burung bangau, aliran sungai, atau kabut pagi. Alam bukan sekadar objek lukisan, tapi bagian dari identitas budaya Jepang. Dalam karya Nihonga, kita bisa melihat bagaimana para seniman menghormati alam sebagai guru dan sumber spiritualitas. Semua ini memperkuat pandangan bahwa Nihonga bukan hanya seni visual, tetapi juga bentuk meditasi estetis.

Seniman-Seniman Penting dalam Nihonga

Salah satu pelopor Nihonga adalah Kano Hōgai (1828–1888), yang menggabungkan pendekatan klasik dengan semangat baru untuk menjaga seni lukis Jepang tetap hidup. Ia dikenal melalui lukisan religius dan simbolik yang memadukan sentuhan spiritual dengan keindahan tradisional. Kano menjadi jembatan antara generasi seniman klasik dan modern, dan turut meletakkan dasar bagi arah Nihonga.

Yokoyama Taikan (1868–1958) adalah tokoh sentral dalam perkembangan Nihonga modern. Ia mengembangkan teknik mokuhitsu — sapuan kuas tanpa garis tegas yang menciptakan efek kabut dan atmosfer. Gaya lukisannya sangat berpengaruh dan menjadikan Nihonga lebih ekspresif, bukan hanya dekoratif. Karyanya sering dianggap sebagai pencapaian tertinggi dalam penyatuan antara teknik tradisional dan visi modern.

Di sisi lain, Uemura Shōen (1875–1949) menjadi ikon penting dalam Nihonga melalui potret perempuan yang elegan dan penuh kelembutan. Ia memberikan suara visual bagi sosok perempuan Jepang di era modern tanpa kehilangan nuansa klasik. Seperti karya feathered Snow 1944.

Sementara itu, Higashiyama Kaii memperkenalkan Nihonga ke generasi pascaperang dengan lanskap yang sunyi, melankolis, dan sangat kontemplatif—karya-karyanya banyak menghiasi ruang publik dan museum di Jepang hingga hari ini.

Nihonga di Masa Kini: Tradisi yang Terus Bernapas

Seni Lukis Tradisional Jepang Nihonga

Di tengah arus digitalisasi dan globalisasi seni, Nihonga masih bertahan dengan caranya sendiri. Tidak hanya digemari oleh kolektor seni tradisional, gaya ini juga mulai menarik perhatian generasi muda Jepang dan internasional. Banyak seniman kontemporer mulai bereksperimen dengan pendekatan Nihonga, menggabungkannya dengan tema modern seperti urbanisme, identitas, dan perubahan sosial.

Bahkan dalam desain interior, tekstil, dan ilustrasi, pengaruh Nihonga mulai terlihat kembali. Sentuhan warna lembut, motif alam, dan filosofi "keheningan visual" menjadi estetika yang sangat dicari di era kelelahan digital. Beberapa seniman bahkan menggunakan material digital tetapi mempertahankan prinsip visual Nihonga, menciptakan dialog baru antara masa lalu dan masa kini.

Pameran seni Nihonga masih rutin diadakan, baik di Jepang maupun luar negeri. Museum seperti Adachi Museum of Art atau The National Museum of Modern Art, Tokyo, memiliki koleksi Nihonga yang mengesankan. Ini menunjukkan bahwa meskipun dunia berubah cepat, seni yang dilandasi oleh kesabaran dan kesadaran tetap memiliki tempat istimewa di hati manusia.

Nihonga bukan hanya tentang melukis dengan bahan alami atau gaya tradisional. Ia adalah representasi dari filosofi hidup yang menghargai proses, kesunyian, dan kedalaman makna. Dalam setiap lapisan warnanya tersimpan keheningan yang mengajak kita untuk berhenti sejenak, melihat lebih dalam, dan merasakan hubungan spiritual dengan alam dan kehidupan.

Di era serba cepat seperti sekarang, seni seperti Nihonga memberikan ruang untuk perlambatan. Ia menjadi pengingat bahwa keindahan sejati tidak harus selalu mencolok, kadang justru hadir dalam bentuk yang paling sederhana dan lembut. Keberadaan Nihonga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan eksperimen.

Melalui Nihonga, kita belajar bahwa seni bukan hanya soal estetika, tapi juga tentang cara hidup. Mungkin inilah alasan mengapa Nihonga tetap hidup—karena ia bukan hanya dilihat, tetapi dirasakan.

Note: Image dibuat dengan AI.

Posting Komentar

0 Komentar