APA ITU SENI RIMPA? SEJARAH, KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA

APA ITU RIMPA? SEJARAH, KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA

Konnichiwa, Tomo-Chan!

Rimpa adalah salah satu aliran seni lukis Jepang yang lahir di era Edo dan hingga kini masih memikat dengan keindahan visualnya. Ciri khas Rimpa terlihat dari penggunaan warna-warna berani, motif alam seperti bunga, burung, dan air, serta teknik dekoratif yang elegan. Lebih dari sekadar gaya melukis, Rimpa menjadi simbol perpaduan antara tradisi dan estetika yang terus memberi inspirasi dalam seni modern.


APA ITU SENI RIMPA? SEJARAH, KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA

Di antara riuhnya dinamika budaya Jepang di abad ke-17 dan seterusnya—di mana peperangan, politik klan, dan pengaruh luar terus silih berganti—lahirlah sebuah aliran seni yang bukan hanya soal teknik melukis, tapi juga soal rasa: rasa keindahan, harmoni, dan dekorasi estetis yang menjadikan karya sebagai sebuah pengalaman visual yang mendalam. 

Inilah Rimpa: seni yang memilih untuk memperindah alam, bukan sekadar meniru; yang merangkul ruang kosong dan kilau emas sebagai bagian dari komposisi, bukan sebagai ornamen tambahan semata.

Karya-karya Rimpa tidak berteriak dengan drama naratif besar, melainkan berbisik lewat motif bunga, dedaunan, angin, air, dan warna-warna metalik yang memantulkan cahaya. Ia mengajak kita melihat alam dan waktu (musim, pagi-malam, riak air) lewat garis-garis sederhana, bentuk-bentuk yang diringkas, dan permukaan yang dihias dengan kepekaan tinggi terhadap ruang dan hening. 

Dalam kesederhanaannya, ada kejutan visual yang memikat — sebuah harmoni antara elemen yang tampaknya berbeda tapi dirangkai untuk saling menyeimbangkan.
 

Sejarah Rimpa: Latar dan Tokoh-tokohnya

Aliran Rimpa muncul di Kyoto pada awal abad ke-17, masa setelah periode Sengoku yang bergolak, ketika stabilitas mulai terbentuk di bawah Tokugawa. Rasa kerinduan terhadap keindahan klasik dan budaya istana (Heian) tumbuh di antara aristokrat, cendekiawan, dan pedagang kaya. 

Di antara mereka, Hon’ami Kōetsu dan Tawaraya Sōtatsu dianggap sebagai pencetus estetika Rimpa: Kōetsu dengan latar belakangnya sebagai ahli kaligrafi, pembuat keramik, dan penghias barang, serta Sōtatsu yang menggabungkan dekorasi, lukisan, desain layar lipat (folding screens) dan kipas, serta penggunaan latar emas atau perak. 

Kemudian generasi berikutnya mengangkat dan memurnikan gagasan-gagasan tersebut. Puncaknya adalah Ogata Kōrin dan Ogata Kenzan di akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18, yang memperluas penggunaan teknik dekoratif, warna-warna cerah, pola-pola berani, serta menerjemahkan motif klasik ke dalam komposisi yang lebih abstrak namun tetap estetis dan atmosferik. Kontribusi mereka membuat apa yang dimulai sebagai kolaborasi estetis berubah menjadi aliran / gaya yang bisa dikenali. 

Lalu muncul fase kebangkitan kembali (revival) aliran Rimpa di akhir abad ke-18 dan ke-19 lewat para seniman seperti Sakai Hōitsu dan Suzuki Kiitsu, yang menghormati karya klasik Kōrin tetapi juga memberi nuansa baru: lebih halus, lebih banyak variasi dalam tekstur dan warna, kadang-kadang lebih lembut dalam garis dan penggunaan ruang kosong. Mereka menyebarkan estetika Rimpa ke bentuk yang lebih luas, termasuk desain grafis modern dan seni kontemporer. 

Karakteristik Rimpa: Ciri dan Gaya

APA ITU SENI RIMPA

Salah satu ciri yang paling khas dari Rimpa adalah penggunaan latar emas atau perak dan permukaan yang mengilap atau memantulkan cahaya, sehingga karya terasa gemerlap dan dekoratif. Tidak hanya sebagai latar, unsur logam ini juga digunakan untuk mempertegas kontur, untuk memberi kontras antara motif dan ruang yang kosong, serta untuk efek visual yang dramatis bila terkena cahaya.

Motif alam seperti bunga, daun, iris, plum, pohon pinus, pemandangan laut atau pulau-pulau kecil (Matsushima), angin, dan ombak sering muncul. Namun motif-motif ini tidak dilukiskan secara naturalistik secara detail, melainkan distilasi dari bentuk dasar, sering dengan garis tegas atau dengan teknik tarashikomi — teknik meneteskan warna di atas area basah sehingga warna meresap atau menyebar secara tidak sempurna namun artistik — yang menciptakan efek yang lembut, samar, tekstural. 

Komposisi Rimpa sangat memperhitungkan ruang kosong (negative space)—tidak semua bagian kanvas atau layar harus penuh. Ruang hening itu menjadi elemen sendiri. Ada kesederhanaan dalam bentuk, keberanian dalam kontras (warna cerah vs ruang gelap/emas), pengulangan motif, pola simetris atau asimetris yang tetap menjaga keseimbangan visual. Juga penting adalah bahwa Rimpa bukanlah aliran akademik formal yang sangat kaku; banyak karya tidak ditandatangani, dan senimannya sering memodifikasi gagasan klasik dengan kebebasan pribadi.

Perkembangan Rimpa di Era Sekarang

Rimpa tidak mati. Di abad ke-19 dan ke-20, seiring munculnya nihonga (lukisan bergaya Jepang modern) dan kemudian desain grafis, Rimpa menjadi referensi penting bagi seniman-seniman kontemporer. Misalnya dalam pameran “The Rimpa School: From Tawaraya Sōtatsu to Tanaka Ikkō” di Yamatane Museum, Tokyo, yang menampilkan karya kontemporer/desainer seperti Tanaka Ikkō yang mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip Rimpa. 

Desain kreatif modern—tekstile, cetak poster, desain produk, kemasan, bahkan desain grafis digital—banyak mengambil motif Rimpa: penggunaan latar metalik, pola alam yang distilasi, ruang negatif yang kuat, dan estetika dekoratif yang elegan. Dalam budaya populer Jepang dan internasional, elemen Rimpa digunakan dalam ilustrasi, produksi film / animasi, dan desain interior. 

Seniman kontemporer Jepang seperti Kamisaka Sekka (akhir abad ke-19 / awal abad ke-20) juga berperan sebagai jembatan antara tradisi Rimpa dan modernisme, membawa pengaruh luar (misalnya Art Nouveau, pencetakan kayu modern) ke dalam karya-karyanya tetapi tetap mempertahankan identitas Rimpa. Dan sampai sekarang, ada seniman dan pengrajin yang membuat barang-barang seperti lacquerware, tekstil, keramik dengan motif Rimpa, kadang-kadang diadaptasi agar cocok untuk penggunaan sehari-hari atau produk komersial. 

Contoh Karya Rimpa:

  • Irises at Yatsuhashi (Eight Bridges)” — Ogata Kōrin: Sebuah pair of six-panel folding screens (byōbu), warna dan detail irises sangat hidup, dengan latar emas yang khas, komposisi asimetris tapi tetap harmonis.
  • Rough Waves” — Ogata Kōrin: Layar dua panel, ombak kasar yang digambarkan dengan garis tegas dan warna kontras, serta penggunaan ruang kosong dan efek logam (emas) di latar belakang untuk memperkuat estetika dekoratif.
  • Morning Glories” — Suzuki Kiitsu: Motif bunga morning glory, dengan gaya Rimpa yang dekoratif: pewarnaan halus tapi berani, pola berkeping simetris-asimetris, adanya ruang kosong yang sengaja dibiarkan agar elemen utama lebih menonjol.

Rimpa mengajarkan beberapa pelajaran penting bagi seni dan desain, terutama jika kita melihatnya sebagai sumber inspirasi kontemporer:
  • Estetika ruang dan hening: Bahwa tidak semua ruang harus diisi; ruang kosong bukan kekurangan, melainkan bagian dari komposisi. Pengaturan ruang, ruang negatif, atmosfer visual yang muncul dari ketidakpenuhan — ini relevan sekali dalam desain modern, ilustrasi, interior, atau bahkan fotografi.
  • Distilasi motif & penyederhanaan bentuk: Rimpa menunjukkan bahwa menyederhanakan bentuk alam ke elemen-elemen yang esensial justru bisa lebih kuat secara visual. Bentuk sederhana tapi dikomposisikan dengan warna, pola, kontras yang baik bisa memunculkan keindahan dan rasa yang mendalam.
  • Kebebasan artistik dalam tradisi: Meskipun Rimpa meminjam motif-motif klasik dan tradisional, senimannya memiliki ruang untuk berinovasi: dalam komposisi, warna, bahan (emas/perak), penggunaan teknik khusus seperti tarashikomi. Jadi tradisi bukan dogma; kreativitas tetap penting.

Apakah di Indonesia Ada Konsep Seni yang Sama? Contohnya?

Ya, dalam konteks Indonesia ada beberapa konsep atau gaya yang memiliki kesamaan dari sudut estetika, filsafat ruang-kosong, dekorasi, dan motif alam, walaupun sejarah dan konteksnya berbeda:
  1. Batik — motif flora dan fauna sering muncul, penyederhanaan bentuk menjadi motif yang diulang (pola), ruang negatif antara motif, serta penggunaan warna / pewarnaan yang kontras. Beberapa motif batik seperti parang, kawung, atau motif flora tropis memiliki pendekatan dekoratif yang mirip dengan Rimpa dalam hal pengulangan motif dan keseimbangan komposisi.
  2. Tapis Lampung: Kain tenun dari Lampung ini memakai benang emas/perak / benang yang berkilau untuk hiasan, motif flora, pola yang disusun simetris atau hampir simetris, dan sering dipakai sebagai kain upacara atau dekoratif. Ada kemiripan dengan Rimpa dalam hal penggunaan elemen logam / penggunaan kilau, motif alami, dan keindahan visual yang dekoratif.
  3. Wayang dan hiasan arsitektur tradisional — ornamen kayu atau relief rumah adat sering menggunakan motif alam (daun, bunga, fauna) yang disederhanakan, berulang, dan ditempatkan di ruang-ruang tertentu sebagai dekorasi yang berirama. Tidak selalu dengan latar emas, tapi ada analogi dalam penggunaan permukaan dan dekorasi.
  4. Seni ukiran kayu, tenun, tekstil tradisional — di daerah seperti Toraja, Minangkabau, Bali, dan lain-lain: motif geometri, flora, fauna yang disusun secara dekoratif dan artistik, sering dengan keseimbangan antara ruang hening dan ornamen. Ada juga seni kaligrafi Islam di Indonesia yang menghargai ruang kosong dan komposisi bentuk huruf sebagai hiasan. 
  5. Gorga (Batak Toba, Sumatra Utara): Seni ukir dan lukisan dekoratif pada rumah, objek kayu dengan motif undulan, flora, bentuk organik, dengan pengaturan ruang yang tidak selalu padat sekaligus ada pola yang mengalir. Walau medianya beda (ukiran kayu, relief) bukan layar lukis dengan emas, tapi ada prinsip ruang & ornamen yang bisa dibandingkan.
Jadi, Indonesia memiliki konsep kesenian yang secara prinsip serupa (motif alam, dekoratif, ruang kosong, penyederhanaan bentuk), meskipun bahan, fungsi, dan kerangka historisnya berbeda.

Sebagai warisan budaya yang lahir dari zaman Edo, Rimpa bukan hanya sekadar gaya seni lukis Jepang, melainkan juga cermin dari harmoni antara alam, warna, dan tradisi. Keindahan garis, pola dekoratif, serta simbolisme dalam Rimpa menjadikannya tetap relevan dan menginspirasi hingga masa kini, baik dalam seni rupa, desain, maupun kehidupan modern. 

Dengan memahami Rimpa, kita tidak hanya belajar tentang sejarah seni Jepang, tetapi juga menemukan bagaimana estetika klasik mampu memberi makna baru di era kontemporer.

Posting Komentar

0 Komentar