FESTIVAL GANDRUNG SEWU BANYUWANGI

Festival Gandrung Sewu Banyuwangi


Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com |  FESTIVAL GANDRUNG SEWU BANYUWANGI. Kalian pernah mendengar tarian Gandrung ? Ternyata tarian ini pernah dijadikan sebagai alat perjuangan loh ! Ini ceritanya !

FESTIVAL GANDRUNG SEWU BANYUWANGI


Sebagai orang yang lahir di kota Banyuwangi, saya ingin memperkenalkan sebuah tarian yang memiliki nilai historis dan menjadi salah satu daya tarik kota Banyuwangi. 

Mungkin kalian tidak asing dengan nama Gandrung Banyuwangi. Salah satu tarian yang hampir selalu hadir di setiap acara formal maupun non-formal di kota ini. Ternyata, tarian ini tak hanya menampilkan keelokan liuk tubuh saja, namun juga menjadi salah satu alat perjuangan di masa penjajahan yang terjadi di bumi Blambangan. Tak heran jika Banyuwangi kemudian dijuluki sebagai Kota Gandrung. 

ASAL USUL GANDRUNG BANYUWANGI 


Nama Gandrung berasal dari kata “digandrungi” atau disenangi. Tarian ini dikenal sebagai tarian yang dipersembahkan oleh masyarakat Blambangan terhadap Dewi Sri. Dewi yang dipercaya membawa kesejahteraan pada masyarakat setempat. Jadi tarian ini merupakan bentuk dari rasa syukur masyarakat setempat atas hasil panen yang melimpah. 

Namun dalam perkembangannya, menurut buku yang ditulis oleh John Scholte yang berjudul Gandroeng Van Banjoewangi sekitar tahun 1927, Tarian Gandrung tak seperti yang kita ketahui saat ini, dulunya Gandrung justru ditampilkan oleh para penari laki-laki. 

Bahkan menurut sejarawan dan beberapa budayawan Banyuwangi, pada awalnya Gandrung merupakan salah satu alat perjuangan melawan penjajahan. 

Tahun 1772 masyarakat Banyuwangi mengalami kekalahan melawan VOC dalam perang Bayu / Puputan Bayu yang dikenal juga sebagai pembrontakan Jagapati. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Jagapati atau Mas Rempeg (Perang Bayu 1) dan Bapa Endha (Perang Bayu 2). Pada saat itu terjadi kekalahan, sehingga sebagian pejuang ada yang melarikan diri ke hutan. 

Mereka yang berada di hutan pada akhirnya memutuskan untuk membuka Hutan (Babat Alas) Tirtogondo pada tahun 1773. 

Akibat kekalahan tersebut, masyarakat Blambangan jadi terpisah dan tersebar di beberapa tempat. Untuk mempersatukan kembali semangat juang mereka, akhirnya timbullah inisiasi untuk berjuang melalui kegiatan seni. 

Masyarakat bergerilya menggunakan media seni musik dan tari dengan memainkan Rebana dan gendang untuk mengiringi para penari yang biasanya terdiri dari beberapa laki-laki usia 7 hingga 15 tahun. 

Mereka menari berkeliling desa sekaligus membawa kentongan yang akan diisi dengan hasil pemberian oleh masyarakat sekitar. Nantinya hasil ini akan dibagikan kepada para pejuang yang berada di hutan. 

Kesenian ini juga dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengumpulkan informasi tentang kekuatan penjajahan. Info yang terkumpul inilah yang akan disampaikan kepada para pejuang, sehingga mereka mengetahui informasi tentang kekuatan lawan. 

Sebagai mata-mata atau informan, para penari tidak bisa dengan leluasa menampilkan citra diri yang sebenarnya, oleh karena itu mereka memanfaatkan tarian sebagai media sehingga mereka bisa lebih leluasa berkeliling desa mengumpulkan informasi tanpa perlu takut untuk dicurigai. Semacam kamuflase laki-laki memerankan perempuan dalam sebuah tarian. 

Itulah mengapa pada awalnya penari gandrung justru ditampilkan oleh laki-laki. 

Ketika agama Islam mulai masuk bumi Blambangan, perlahan penari laki-laki tergantikan oleh penari perempuan hingga seperti sekarang ini. 

Penari wanita pertama yang menampilkan tarian gandrung adalah bernama Semi. Ia pertama kali menari pada tahun 1895 setelah beliau sembuh dari penyakit parahnya. Sebelum itu Semi adalah seorang penari Seblang dari Desa Bakungan. Ia menjadi penari atas nadzar sang Ibu, Raminah. 

FESTIVAL GANDRUNG SEWU 


Gandrung Banyuwangi


Jika diperhatikan dari instrumen pakaiannya, tarian Gandrung banyak dipengaruhi oleh budaya Bali. Yang notabene memang dekat dengan wilayah Banyuwangi. Warna merah dan Gold mendominasi warna pakaian yang dikenakan oleh para penari. 

Tarian Gandrung sendiri memiliki banyak macam dan urutannya. Di antaranya : 


  • Jejer gandrung
  • Paju Gandrung
  • Seblang Subuh
  • Gandrung Dor
  • Tari Gandrung Marsan

Dari sekian jenis tarian gandrung, yang memiliki cerita histori salah satunya adalah Tari Gandrung Marsan. 

Tari Gandrung Marsan merupakan karya tari yang diambil oleh nama penari yang paling terkenal dan dikagumi saat itu, bernama Marsan. Beliau merupakan penari yang piawai memerankan tokoh perempuan dengan baik, Tak hanya itu, kontribusinya dalam seni tari hingga 40 tahun lah yang akhirnya membuat tariannya dikenal oleh masyarakat setempat. 

Sebagai bentuk penghormatan, tarian yang dipersembahkan oleh Marsan kemudian dikenal dengan nama Tari Gandrung Marsan. 

Untuk terus mengingatkan generasi muda tentang nilai-nilai perjuangan, tarian Gandrung kini dihadirkan tak hanya dalam event saja, tapi juga secara khusus dibuatkan sebuah Festival. Festival ini yang disebut dengan Festival Gandrung Sewu. Di mana pesertanya kurang lebih sekitar seribu orang yang turut menari meramaikan acara ini. 

Gandrung sewu digelar pertama kali 17 November tahun 2012. Event ini kemudian menjadi festival tahunan yang digelar di Kota Banyuwangi. Biasanya festival ini dilakukan di Pantai Boom. Jika dilihat dari kalender event yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Daerah Banyuwangi, festival Gandrung Sewu sering digelar antara bulan Oktober hingga November. Apakah ini berhubungan dengan sejarah Perang Bayu 2 yang juga dilakukan di bulan yang sama ? 

KESIMPULAN 


Tarian Gandrung jika ditilik sekilas mungkin hanya sebatas tarian tradisional saja. Namun sebenarnya merupakan salah satu tarian yang memiliki histori yang tidak biasa. 

Seni menjadi salah satu media yang bisa digunakan oleh siapapun untuk berjuang, menyuarakan pendapatnya, atau bahkan sebagai suatu profesi. 

Kini tarian Gandrung bisa dinikmati di setiap acara-acara yang digelar di kota Banyuwangi. Dari mulai acara keluarga seperti khitanan, pernikahan hingga acara formal seperti penyambutan tamu kehormatan. Bahkan menjadi salah satu rangkaian dalam ritual Petik Laut yang sering dilakukan pada saat satu suro. 

Nah yang menjadi persoalan, mengingat festival ini diikuti oleh banyak penari, di masa pandemi ini kira-kira tetap akan digelar gak ya ? hehehe.. Kita tunggu sampai bulan Oktober nanti ya.. ? Kalo buat kalian Festival apa yang paling pingin dilihat setelah masa pandemik ini berakhir ?

Post a Comment

0 Comments