Belakangan ini keresahan bersama melesatnya pertumbuhan AI membuat beberapa kalangan seniman panik. Sebagian besar takut jika profesi mereka akan tergantikan dengan AI. Nah, tulisan ini adalah sudut pandang saya dalam topik ini. Semoga bisa menyumbang berbagai perspektif dalam menghadapi perkembangan AI saat ini.
APAKAH AI AKAN MENGGANTIKAN SENIMAN?
Jawaban tentang pertanyaan ini tentu saja relatif ya, tergantung bagaimana kita memandang peran AI dalam kehidupan sehari-hari. Dan apa yang saya ulas di artikel ini merupakan opini murni yang tidak bermaksud memberikan kesimpulan sama sekali.
AI Hanyalah Tools
Saya pribadi memandang AI ini hanya sebagai sebuah tool yang membantu pekerjaan, terutama untuk membuat ilustrasi pada blog atau self-published eBook saja. AI tidak akan menggantikan seniman, tetapi seseorang yang mampu memanfaatkan AI berpotensi menggantikannya.
Sama seperti Adobe Photoshop, Canva, Adobe Illustrastor, Medibang, Pro Create dan peralatan lainnya, peran AI hanyalah membantu manusia dalam mengkreasikan konsepnya.
AI tidaklah bermanfaat bagi orang yang tidak memiliki keahlian untuk menggunakannya. Dia hanyalah software yang menunggu seseorang memberikan prompt atau perintah untuk mengoperasikan kemampuannya.
Contohnya adalah Canva yang mudah dioperasikan dengan hanya menambahkan elemen-elemen yang tersedia. Apakah lantas hasilnya akan selalu bagus-bagus saja? Belum tentu.
Bagi seorang designer yang memiliki soft skill dalam membuat desain gambar dan memahami elemen dan komponennya, tentu fungsi Canva akan lebih maksimal dibandingan orang yang hanya tempel-tempel elemen semata. Ini membuktikan bahwa kemampuan individu tetap memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil akhir.
Peran Katarsis Yang Berbeda
Alasan lain yang membuat saya berpikir bahwa AI tidak akan menggantikan seniman adalah tujuan dan proses seniman itu sendiri dalam berkarya.
Bagi seniman konseptual, peran AI tentu sangat memudahkan untuk merealisasikan konsep mereka menjadi karya seni. Namun di sisi lain, AI bagi mereka juga bisa menjadi sebuah ancaman karena dianggap bisa menggantikan kemampuannya.
Yang kita lupa pikirkan adalah sebagian seniman tidak hanya terfokus pada "karya akhir" saja. Tetapi juga menikmati proses pembuatan karya seni itu sendiri.
Misalnya saja ada seorang pelukis yang memanfaatkan anggota tubuhnya dalam proses penciptaan karya—rambutnya sebagai pengganti kuas—tentu hal ini tidak terpengaruh dengan adanya AI, karena bagi mereka yang terpenting adalam proses dalam menciptanya tersebut.
Atau kasus lainnya adalah seorang seniman yang menjadikan goresan lukisan atau emosi dalam membuat karyanya menjadi bagian terpenting dalam proses penciptaan. Mereka bisa saja tidak merasa terancam dengan keberadaan AI karena dalam prosesnya, mereka menikmati sensasi yang ditimbulkan dalam ragam ekspresi dan media.
Artinya tujuan (niat), proses dan media katarsis seorang seniman memiliki peran penting yang tak dapat digantikan oleh AI. AI sangat bermanfaat bagi siapa pun yang fokus pada konsep, pemakaian elemen dan output yang diinginkan saja. Namun untuk karya seni yang menitikberatkan pada proses dan katarsis emosi dalam penciptaannya, tidak akan bisa digantikan oleh AI.
Titik Kepuasaan Seniman Yang Berbeda-beda
Setiap seniman tentu memiliki titik kepuasaan yang berbeda. Ada seniman yang puas dengan komposisi scene yang sempurna dari karyanya. Ada yang puas saat gagasannya tersampaikan meski hasilnya terlihat absurd bagi sebagian orang. Ada juga yang merasa puas karena sudah menyelesaikan karyanya sesuai dengan imajinasinya.
Namun, beberapa seniman juga menikmati bagaimana mereka mengaplikasikan kuas dan mendapatkan sensasi dari efek goresannya tersebut, atau seniman yang merasa puas dengan material recycle atau media unik yang digunakannya, dan lain-lain.
Tentu hal yang seperti ini tidak bisa direalisasikan oleh AI. Jadi kepuasan seorang seniman itu berbeda-beda. Inilah yang membuat saya yakin mereka tetap tak tergantikan oleh AI.
Siapa Yang Terancam Dengan AI?
Hmmm... Sulit sebenarnya menentukan siapa yang terancam, tapi menurut saya mereka yang hanya fokus pada hasil akhir (output karya) tanpa: melibatkan emosi, memahami konsep karyanya, memikirkan media dan tujuan yang jelas, adalah sebagian orang yang akan merasa ketakutan dengan munculnya AI.
Karena menurut saya proses penciptaan karya seni itu melibatkan banyak faktor yang tidak hanya bisa digantikan dengan AI. Mereka yang memanfaatkan AI harus memikirkan konsep yang jelas dan kokoh, agar karyanya memiliki karakternya sendiri.
Selain itu mereka juga harus memiliki gagasan atau ide yang ingin dikomunikasikan melalui konsep dan elemen yang digunakan. Jadi, ya gak asal jadi gitu aja. Tapi dia harus "memiliki sesuatu" yang akan disampaikan kepada audiens melalui konsep karyanya.
Perkembangan AI yang sangat cepat memberikan kita pilihan: "mau ketinggalan dan terus berkeluh kesah (meratapi diri) atau mulai belajar beradaptasi untuk bisa meningkatkan skill (tidak hanya saat ini) tapi di masa mendatang.
Melihat bagaimana perkembangan AI yang sangat pesat, membuat saya tidak ingin berlama-lama meratapi diri dalam penolakan. Tapi momen ini justru saya gunakan untuk belajar, meng-upgrade kemampuan dan mengkolaborasikan AI dengan komponen hidup sehari-hari serta ilmu pengetahuan yang saya pelajari.
Prompt AI Adalah Konsep Karya
Dengan hadirnya AI, akhirnya saya harus belajar untuk memberikan makna pada setiap elemen yang saya gunakan sebagai simbol dari konsep yang saya miliki.
Misalnya saja penggunaan elemen jamur yang saya gunakan sebagai simbol dari dunia alam bawah sadar yang dimiliki oleh manusia. Itulah mengapa beberapa prompt yang saya gunakan selalu ada elemen jamur, neurons, dan DNA sebagai simbol dari konsep yang saya miliki.
Setelah saya mempelajari buku Dreams And The Stages Of Life karya Anthony Stevens—yang mengupas tentang gagasan mimpi Carl Jung—saya jadi lebih memahami bahwa prompt yang kita susun biasanya terdiri dari kumpulan asosiasi bebas yang termanifestasi menjadi simbol elemen. Jadi tanpa sadar prompt AI tersebut merupakan isi dari alam bawah sadar kita dalam bentuk asosiasi bebas.
Perihal bagaimana hasil akhir dari karya tersebut, di sinilah peran AI yang meramunya melalui kemampuannya membuat generate. Jadi ibaratnya tuh kita adalah arsiteknya, nah AI hanyalah tukang yang merealisasikan ide kita menjadi karya seni.
Semakin detail cara kita dalam memberikan perintah pada AI, maka semakin detail pula hasil karyanya. Semakin kita asal-asalan, ya semakin biasa hasil karyanya.
Peran Kecerdasan Linguistik
Bekerja dengan AI itu bukan hanya dengan modal memiliki asosiasi bebas saja. Tetapi kita juga harus memiliki kemampuan linguistik yang mumpuni. Ya, setidaknya kita harus memahami dan kaya akan kosakata.
Pilihan diksi yang digunakan memiliki pengaruh signifikan dalam hasil karyanya. Oleh karena itu, sebagai arsitek/kurator/editor, kita harus memiliki keahlian ini agar hasil karyanya sesuai dengan konsep dan ide yang kita miliki.
Satu hal lagi yang ingin saya soroti, bahwa hasil generate AI berpotensi memiliki gaya surealisme. So untuk kita yang idealis dengan aliran tertentu, mungkin akan merasa kesulitan dalam menerima hasilnya. Karena sejarah AI sendiri terinspirasi oleh seniman Salvador Dali. Sedangkan Salvador Dali memanfaatkan konsep psikoanalisis dalam karya-karyanya.
Bagi AI peran manusia itu adalah desainer (konseptor), arsitek serta merangkap kurator (gambar) dan editor (penulisan), di mana kita bertanggung jawab pada konsep dan karya yang dipublikasikan kepada audiens.
Jadi, secanggih apa pun AI, tetap membutuhkan manusia sebagai pengendalinya. So, jangan takut AI tapi khawatirlah pada mereka yang meng-upgrade dirinya belajar tentang AI. Karena merekalah yang mampu menggantikannya.
0 Komentar
Dalam beberapa kasus kolom komentarnya tidak mau terbuka, Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.