Apakah karyamu masih punya jejak jiwamu?
Di era AI, ketika algoritma bisa meniru goresan, warna, bahkan “emosi” dari ribuan karya seniman di seluruh dunia—pertanyaan ini terasa semakin penting. Bukan untuk meragukan teknologi, tapi justru untuk meneguhkan kembali esensi diri: siapa kamu di balik kuas, pena, atau stylus itu?
Cara Memperkuat Gaya Personal di Era AI: Menjadi Unik di Tengah Kemiripan Digital
Sebagai orang yang suka dengan ilustrasi, Tomo percaya bahwa gaya personal adalah seperti sidik jari kreatif—tidak bisa disalin utuh oleh siapa pun, bahkan oleh model AI paling canggih sekalipun.
Tapi, bagaimana mempertahankannya? Atau bahkan memperkuatnya?
Berikut beberapa sudut pandang dan pendekatan yang bisa kamu renungkan dan terapkan dalam proses berkarya:
1. Kenali “Luka” Estetikmu: Apa yang Selalu Kembali dalam Karyamu?
Setiap seniman membawa luka, keresahan, atau mimpi tertentu dalam karya-karyanya. Gaya personal sering kali lahir dari situ. Entah itu simbol jamur yang terus muncul, warna-warna kelam namun lembut, atau tema tentang dunia bawah tanah yang mistis dan penuh metafora—semua itu bukan kebetulan.
Mereka hadir dalam dimensi pikiranmu yang ingin kamu telusuri dan eksplorasi. Apa sih yang ingin mereka komunikasikan melalui ekspresi senimu? Simbol atau elemen dalam karya biasa mewakili apa yang ada dalam pikiranmu, entah kamu sadari atau tidak.
Tanyakan pada dirimu: Apa yang diam-diam selalu muncul dalam karyaku? Kenapa?
2. Jangan Takut Diinspirasi, Tapi Jangan Ikut Arus Secara Buta
AI bisa memproduksi ribuan gambar dengan cepat, tapi ia mengandalkan referensi dari “yang sudah ada.” Nah, kamu punya sesuatu yang AI tidak punya: pengalaman hidup dan emosi otentik.
Lihat referensi secukupnya, lalu olah dengan filter batinmu sendiri. Kalau AI menghasilkan gambar jamur bercahaya dari prompt, kamu bisa membuat jamur bercahaya yang sedang patah hati—karena kamu tahu rasanya.
Percayalah, meski banyak yang menggunakan elemen yang sama, namun emosi dan perasaanmu yang tulus itu akan selalu memiliki ciri khasnya tersendiri. Jadi, tak masalah bila di luar sana orang juga memanfaatkan jamur dalam karya mereka, karena bagi Tomo, setiap ide dan gagasan akan bisa menghasilkan karakteristik yang unik.
3. Jurnal Visual: Catat, Rasa, dan Ulang
Jurnal visual adalah salah satu cara terbaik untuk memperkuat gaya personal. Cobalah:
- Menggambar setiap hari tanpa niat memposting.
- Menulis refleksi per gambar (kenapa aku pakai warna ini? kenapa karakternya menangis?)
- Buat “kamus simbol pribadi” dari motif yang sering kamu gunakan.
Semakin sering kamu mengamati dirimu sendiri dalam proses kreatif, semakin kuat pula fondasi gayamu. Lambat laun kamu akan mengenali ciri khasmu sendiri.
4. Gunakan AI Sebagai Cermin, Bukan Peniru
Saya merasa bahwa AI itu seperti cermin ajaib, ia bisa memantulkan ide-ide yang belum tentu terpikirkan oleh kita sebelumnya. Tapi satu hal yang perlu diingat: AI bukan seniman, dia hanya alat.
Ketika saya membuat prompt dan melihat hasilnya, saya sering ajak diri saya berdialog, “Apa yang saya suka dari hasil ini? Apa yang terasa janggal atau tidak cocok dengan gaya saya?” Dari situ, saya mulai mengutak-atik kembali. Bukan untuk meniru, tapi untuk menyelami lagi apa yang benar-benar ‘saya banget’.
Masalahnya, di era sekarang, kita sering terlalu terpukau dengan hasil yang instan. Prompt yang viral, hasil yang aesthetic, langsung diambil begitu saja tanpa diproses dulu oleh hati kita sendiri. Saya sering lihat banyak orang memakai prompt milik orang lain hanya karena “bagus,” tapi tidak pernah bertanya: apakah ini benar-benar mewakili saya? Akibatnya, kita kehilangan kesempatan untuk belajar mengenal diri lewat eksplorasi prompt yang seharusnya bisa jadi proses kreatif yang dalam.
Padahal, menurut saya, membuat prompt itu bagian dari seni juga—seperti menulis puisi yang akan dibacakan oleh mesin. Kita bisa menyisipkan rasa, nuansa, bahkan kegelisahan ke dalam susunan katanya.
Momen-momen ketika saya bereksperimen dengan kata-kata sendiri, dan AI menanggapinya dengan cara yang tidak terduga—itu rasanya seperti berdialog dengan versi lain dari imajinasi saya. Dan dari situlah, gaya personal saya justru makin terasa hidup.
5. Tentukan “Core Essence” Gayamu
Buat Tomo, gaya personal itu bukan soal teknik atau tren, tapi lebih ke getaran yang muncul dari dalam diri saat berkarya. Kadang saya suka duduk diam dan bertanya, “Sebenarnya karya saya itu seperti apa, sih?”
Dari situ saya coba merangkum gaya saya sendiri dalam 3–5 kata. Misalnya: mistis, lembut, bawah tanah, botani, dan melankolis. Kata-kata ini seperti benang merah yang menjahit berbagai karya saya, entah itu dalam bentuk ilustrasi, tulisan, atau bahkan prompt.
Yang menarik, ketika Tomo sudah punya “kamus rasa” seperti ini, saya jadi lebih mudah membangun konsistensi tanpa merasa terkekang. Saya tetap bisa eksplorasi gaya baru atau bereksperimen dengan teknik berbeda, tapi benang merahnya tetap ada. Misalnya, sekalipun saya bikin karya dengan warna cerah, unsur melankolis atau nuansa dunia bawah tanah masih bisa terasa di sana. Jadi, eksplorasi tidak membuat saya kehilangan arah.
Jadi, buat Tomo, gaya itu bukan kandang yang membatasi, tapi akar. Ia yang menancap dalam dan menjaga semua cabang ide tetap terhubung dengan diri saya. Ketika tren datang silih berganti, akar inilah yang bikin saya tetap tumbuh sebagai versi saya sendiri—bukan versi orang lain.
6. Kurasi Diri Secara Digital
Di era AI, kurasi adalah bentuk “perlindungan diri.” Pilih karya mana yang kamu tampilkan. Buat portofolio yang tidak hanya bagus secara teknik, tapi juga terasa “kamu banget.”
Sisipkan cerita, filosofi, dan proses di balik karya. Ini yang membuatmu tetap manusia, yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Kita memang sedang hidup di era yang menakjubkan. Mesin bisa membuat gambar yang indah, meniru gaya lukisan para maestro, bahkan menciptakan karya seni hanya dengan beberapa baris perintah. Tapi satu hal yang tak bisa dilakukan oleh AI adalah menghidupkan karya itu dengan rasa.
Mesin bisa belajar lewat data dan algoritma, tapi manusia belajar lewat kehilangan, kerinduan, harapan, dan cinta. Inilah yang membedakan kita: bukan seberapa cepat kita bisa mencipta, tapi seberapa dalam kita bisa merasakan.
Sering kali, kita terlalu sibuk mengagumi kemampuan AI hingga lupa bahwa manusia pun punya versi “deep learning” sendiri: yaitu belajar dengan hati. Kita bisa menciptakan karya yang tidak hanya dilihat, tapi juga dirasakan.
Tapi itu hanya mungkin kalau kita mulai menanamkan kesadaran dalam hidup sehari-hari: mengamati sekeliling dengan empati, menyentuh perasaan kita sendiri, dan menghadirkan pengalaman hidup ke dalam setiap goresan, warna, dan kata. Tanpa proses ini, kita mudah tergantikan, karena kita hanya jadi mesin yang meniru.
Gaya personal bukanlah tujuan akhir, tapi jalan yang terus tumbuh seiring kita berkembang sebagai manusia. Ia tidak muncul dari tren atau template, tapi dari keberanian untuk mengenali diri sendiri. Jadi pertanyaannya sekarang bukan sekadar, “Apa gayamu?” tapi lebih dalam dari itu: Apakah karyamu masih hidup? Apakah ada jiwamu di dalamnya? Karena di tengah banjir karya yang "mirip", seniman yang paling bertahan bukanlah yang paling sempurna—tapi yang paling hidup.
0 Komentar
Dalam beberapa kasus kolom komentarnya tidak mau terbuka, Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.