Dulu, saya mengenal alat lukis bukan sebagai sesuatu yang sakral atau artistik. Mereka hanya sekumpulan barang dagangan yang harus saya hafal fungsinya, harganya, dan penempatannya di rak toko. Saat itu, saya adalah seorang pekerja toko alat lukis—bukan seniman, bukan ilustrator, bahkan belum tentu penikmat seni.
15 TAHUN BERTEMAN DENGAN ALAT LUKIS
Dunia seni terasa seperti ruangan yang hanya bisa saya intip dari kaca etalase. Namun semua berubah saat satu momen kecil membuat saya menyadari bahwa barang-barang itu menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari angka dan label harga.
Momen itu datang bukan dengan kilat inspirasi, tapi lewat percakapan sederhana. Seorang pelanggan bertanya tentang kualitas warna pada dua merek cat air. Saya tahu harganya, saya tahu ukurannya, tapi saya tidak tahu jawabannya secara pengalaman.
Dari rasa ‘tidak tahu’ itulah saya mulai penasaran: apakah saya bisa mengenal lebih dalam dunia yang selama ini hanya saya pandangi dari balik meja kasir? Ternyata jawabannya: bisa. Dan perjalanan itu pun dimulai.
Awal Perjalanan: Lebih dari Sekadar Menjawab Pertanyaan
Empat tahun pertama bekerja, media seni hanya saya anggap sebagai alat bantu jualan. Saya harus bisa menjelaskan perbedaan antara kuas sintetis dan natural, antara watercolor pad dan sketch pad, antara gouache dan poster color.
Saya melatih ingatan seperti ensiklopedia berjalan, supaya pelanggan tidak kecewa. Tapi lama-kelamaan, saya merasa menghafal spesifikasi itu tidak cukup. Apalagi ketika saya mulai bertemu pelanggan-pelanggan yang sangat detail dan antusias dalam membahas alat.
Pertanyaan-pertanyaan mereka seperti pintu yang membawa saya masuk ke dunia yang lebih dalam: dunia tekstur kertas, aliran tinta, pigmentasi warna, dan keunikan tiap kuas. Saya mulai merasa, saya tidak cukup hanya tahu ‘apa’, saya juga perlu tahu ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’.
Rasa ingin tahu itulah yang perlahan mengubah posisi saya dari orang yang hanya menjual, menjadi orang yang mulai ikut terlibat. Saya pun mulai mencoba satu per satu media yang tersedia di toko—bukan untuk dijual, tapi untuk dipahami.
Bereksperimen: Dari Sales Girl ke Perasa Media
Saya mulai bereksperimen. Cat air jadi teman awal yang menemani setiap waktu istirahat saya di toko. Saya mencoba goreskan warna ke potongan kertas bekas, membandingkan hasil antara satu merek dengan yang lain.
Lalu saya mulai bermain dengan pensil warna, lalu pastel, lalu cat akrilik. Tak ada tekanan, tak ada ekspektasi. Hanya keinginan untuk merasakan bagaimana masing-masing alat bekerja, seperti apa sensasinya saat disentuhkan ke media, dan apa yang bisa diciptakan darinya.
Dari sana, saya mulai belajar bahwa seni bukan hanya tentang teknik, tapi juga tentang hubungan. Hubungan antara tangan, alat, dan rasa. Saya menyadari bahwa dengan memahami media secara langsung, saya bukan hanya bisa menjelaskan dengan lebih baik kepada pelanggan, tetapi juga memahami cara mereka berpikir. Karena ternyata, media seni bisa menjadi jembatan untuk memahami orang lain, bahkan diri sendiri. Saya yang dulu hanya menghafal, kini mulai menikmati.
Membangun Karakter Lewat Karya
Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar bahwa setiap goresan, warna, dan bentuk yang saya buat ternyata memiliki pola. Saya menyukai kombinasi warna tertentu, goresan tertentu, dan tema tertentu.
Di situlah saya mulai memahami bahwa karakter karya bukanlah sesuatu yang diciptakan secara instan. Ia tumbuh bersama pengalaman, rasa, dan identitas. Saya mulai membangun gaya ilustrasi saya sendiri, bukan untuk dinilai orang lain, tetapi sebagai bentuk pengenalan terhadap diri.
Karya, pada akhirnya, menjadi bahasa jiwa. Ia berbicara tanpa kata, tapi menyampaikan begitu banyak rasa. Di setiap sketsa yang saya buat, ada sepotong kisah, ada sejumput suasana hati, dan ada harapan-harapan kecil yang sulit saya ucapkan.
Semakin saya mengenal media, semakin saya bisa mengekspresikan diri. Karya saya menjadi refleksi perjalanan hidup saya, dari pekerja toko hingga seseorang yang berani mengatakan, “Saya juga berkesenian.”
Beralih ke AI, Tapi Tak Lupa Akar
Saat saya menemukan AI sebagai alat bantu visual, saya menyambutnya dengan antusias, tetapi juga penuh kesadaran. Saya tahu bahwa AI tidak bisa menggantikan seluruh proses belajar saya yang panjang. Ia hanya pelengkap, bukan pengganti.
Karena saya sudah terbiasa membangun karya dari awal, saya tahu bagaimana memilih elemen visual, menyusun pesan, dan membentuk narasi dari gambar. Saya tahu kapan harus berhenti, kapan harus menghapus, dan kapan harus berkata: “Ini cukup.”
Berproses dari media manual mengajarkan saya hal-hal yang tidak saya dapat dari digital: sabar, peka, dan menghargai hasil sekecil apa pun. Saya percaya, sebelum kita melompat ke teknologi baru, ada baiknya kita memahami akar terlebih dahulu.
Fondasi itu yang akan menjaga kita tetap orisinal di tengah kemudahan teknologi. AI membantu saya mengilustrasikan ide, tapi maknanya tetap datang dari pengalaman saya bersama cat, kuas, dan kertas selama 15 tahun ini.
Proses adalah Guru yang Paling Jujur
Kini saya tahu, bahwa seni bukanlah soal siapa paling bagus, siapa paling cepat, atau siapa paling viral. Seni adalah proses. Ia hadir dalam detik-detik ketika tangan gemetar membuat garis pertama, ketika warna tidak sesuai ekspektasi, atau ketika kertas robek karena terlalu basah.
Semua itu bukan kegagalan, tapi guru yang paling jujur. Ia mengajari saya bahwa dalam setiap kesalahan, ada pelajaran yang membentuk karakter kita sebagai manusia yang berkarya.
Hari ini saya menulis lebih banyak daripada menggambar. Tapi saya tahu, tulisan saya pun dipengaruhi oleh perjalanan saya dengan alat lukis. Karena dari media visual, saya belajar mengenali bahasa ekspresi.
Dari percakapan dengan pelanggan, saya belajar mendengar. Dan dari proses berkarya, saya belajar memahami. Itulah mengapa saya masih menyebut diri saya "teman alat lukis"—bukan karena saya menggunakannya setiap hari, tetapi karena mereka telah menemani proses saya menjadi diri yang hari ini.
0 Komentar
Dalam beberapa kasus kolom komentarnya tidak mau terbuka, Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.