APA TUJUANMU MASIH TETAP BERKARYA?

APA TUJUANMU MASIH TETAP BERKARYA?

Konnichiwa, Tomo-Chan!

Ada kalanya sebuah pertanyaan sederhana justru mengguncang kesadaran yang paling dalam. Bukan karena pertanyaannya sulit, tapi karena ia mengusik makna yang selama ini kita biarkan mengambang. Judul curhatan seni kali ini adalah salah satunya. Pertanyaan yang terlihat sepele, tetapi ketika direnungi, ternyata menyimpan muatan filosofis dan spiritual yang besar: Apa tujuanmu masih tetap berkarya?


APA TUJUANMU MASIH TETAP BERKARYA? 

Saya menemukan pertanyaan ini bukan dari buku filsafat atau sesi terapi, melainkan dari unggahan seorang seniman muda Indonesia, Muklay, yang terkenal dengan gaya Popart dan Surealisme berwarna cerah. 

Lewat sebuah thread di media sosial Threads, ia memamerkan salah satu karyanya sembari bertanya pada pengikutnya: “Apa sih alasan kalian masih berkarya?” Pertanyaan ini menghentikan saya sejenak. Lalu perlahan mulai menelisik ulang alasan saya sendiri terus membuat karya, meski dunia kadang tidak memberikan aplaus.

Berkarya Bukan Sekadar Produktivitas

Dulu saya mengira bahwa berkarya itu harus punya tujuan besar — entah itu untuk dikenal, menjadi legacy, atau menghasilkan uang. Seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa ketika kita terlalu fokus pada hasil, kita mudah kecewa. Satu karya tidak viral, kita meragukan diri. Tidak ada klien atau respons, kita merasa gagal. Padahal sejatinya, berkarya adalah tentang mengalirkan makna dari dalam diri ke dunia luar. Ia bukan soal validasi eksternal, tapi tentang keterhubungan kita dengan proses kreatif itu sendiri.

Ketika saya mengalami masa-masa demotivasi, saya sempat berpikir untuk berhenti total. Tapi ternyata, tubuh dan jiwa saya tetap mencari jalan untuk menuangkan sesuatu. Entah lewat tulisan, gambar, coretan, atau jurnal reflektif. Artinya, berkarya bukan tentang produktivitas atau output, tapi tentang menjaga kewarasan di tengah dunia yang sering membingungkan. Berkarya menjadi terapi — tempat saya berdialog dengan emosi, luka, dan harapan.

Saya mulai menyadari bahwa berkarya itu ibadah non syariat — bentuk pengakuan atas ketergantungan kita pada Tuhan. Ia bukan cuma kegiatan kreatif, tapi bisa menjadi ibadah bila niatnya diluruskan. Dan niat itu tak selalu harus besar, kadang cukup sederhana: bersyukur karena Allah SWT. 

Mengapa Saya Masih Berkarya? Karena Allah Telah Memberi

Bila direnungkan lebih dalam, berkarya bagi saya adalah bentuk rasa syukur. Ada masa di mana saya terlalu fokus pada kekurangan — tidak punya akses, tidak punya mentor, tidak punya platform besar.

Tapi semakin saya merenung, saya sadar: Allah justru telah memberikan banyak hal yang saya butuhkan untuk berkarya. Pikiran, sumber daya, kesempatan, kemampuan, ketekunan, bahkan luka masa lalu yang menjadi bahan bakar kreativitas. 

Saya pun teringat pada ayat dalam QS. Adh-Dhuha ayat 11:

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ࣖ

Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur).

Aḍ-Ḍuḥā [93]:11

Ayat ini membekas karena ia memberi saya kesadaran bahwa berkarya adalah bentuk nyata dari syukur. Saya tidak bisa terus-menerus menuntut lebih tanpa menyadari bahwa apa yang sudah saya miliki adalah karunia — bukan sesuatu yang otomatis.

Dari sudut pandang ini, berkarya bukan lagi tentang siapa yang melihat atau menghargai. Tapi tentang bagaimana saya bisa menghargai apa yang Allah titipkan dalam hidup saya. Dan cara terbaik untuk mensyukurinya adalah dengan mempergunakannya — lewat karya.

Dari Pengakuan Diri ke Persembahan Ilahi

Seiring bertambahnya usia dan pengalaman, saya mulai menyadari bahwa berkarya bukan cuma soal pencapaian, tetapi soal penyerahan diri. Dalam bahasa Sanskerta, kata sani bermakna “persembahan kepada Tuhan. Dan kini saya mulai memahami bahwa setiap gagasan, kalimat, atau karya yang saya buat bisa menjadi bentuk persembahan itu — selama niatnya lurus, dan prosesnya dijalani dengan keikhlasan.

Ada semacam ketenangan yang lahir saat kita tak lagi menjadikan manusia sebagai pusat penilaian. Ketika karya menjadi bentuk ibadah, maka ukurannya bukan lagi viral atau tidak, tapi: apakah saya telah memberikan yang terbaik dari yang Allah titipkan?

Dalam kondisi ini, berkarya tidak lagi melelahkan, tapi justru menjadi penguat. Ia membebaskan dari tekanan untuk menjadi sempurna, dan mengajak kita untuk jujur terhadap diri sendiri. Karena persembahan terbaik adalah yang lahir dari hati yang tulus, bukan dari ambisi yang kosong.

Niat yang Terus Diperbarui

Yang menarik dari proses berkarya adalah: motivasi kita bisa berubah-ubah seiring waktu. Kadang karena kebutuhan, kadang karena idealisme, kadang karena luka, dan kadang karena cinta. Tapi yang terpenting adalah: kita selalu punya ruang untuk meninjau ulang niat kita.

Saya pribadi termasuk orang yang mudah terbawa arus bila tidak rutin melakukan refleksi. Maka dari itu, setiap kali saya merasa kehilangan arah, saya kembali pada pertanyaan sederhana: “Untuk siapa aku berkarya?” Dari situ saya bisa kembali menyusun ulang makna, arah, dan energi yang ingin saya salurkan dalam setiap karya yang saya buat.

Bagi saya, memperbarui niat adalah bagian dari menjaga ketulusan. Karena karya yang lahir dari hati yang jernih akan sampai ke hati yang lainnya, bahkan tanpa kata-kata. Dan itulah tujuan spiritual dalam berkarya yang ingin saya terus rawat.

Bagaimana Denganmu?

Mungkin tulisan ini tidak menjawab semua hal, tapi setidaknya memberi ruang untuk kita berhenti sejenak dan bertanya ulang: 

Apa tujuanmu masih tetap berkarya?
Apakah karena mimpi yang belum selesai? 
Karena trauma yang ingin sembuh? 
Atau karena ingin mengenang sesuatu yang berarti?

Apa pun itu, semoga kita tak pernah lelah memperbarui niat dan menyambungkan kembali makna dari setiap karya yang kita buat. Karena ketika niat kita jernih, maka berkarya pun akan menjadi perjalanan yang menenangkan.

Posting Komentar

0 Komentar