THE ART OF DYING 1

The art of dying



Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com | THE ART OF DYING 1.


Pandemic mengajarkan pada saya tentang bagaimana menghadapi kematian. Selain menghadapi kabar kematian yang datang dari orang-orang sekitar, juga belajar menghadapi kematian diri sendiri. Seperti apa penjelasannya ?

THE ART OF DYING 1


Mungkin ini terdengar tidak lazim, namun masa pandemic ini tidak hanya mengubah rutinitas sehari-hari namun juga kehidupan secara luas. Termasuk cara berpikir dan menalar. Seringnya di rumah membuat saya memiliki rasa penasaran terhadap banyak hal. Termasuk tentang kematian.

PENGALAMAN COVID


Virus covid sempat membuat saya berpikir tentang kematian. Terlebih saat itu saya mengalami reaksi "suspected" ketika awal-awal virus ini mulai menyebar. Ada moment di mana saat itu saya merasa ketakutan menghadapi kematian. Terlebih secara spiritual saya belum siap menghadap pada Sang Khalik.

Ketakutan-ketakutan itu membawa saya pada kondisi depresi. Susah tidur dan overthinking. Walhasil virus covid pun jadi lebih buruk. Apalagi di hari ke-11 saya mulai merasakan sesak nafas. Dan mulai membayangkan datangnya malaikat maut.

HOW TO DIE


Setelah menghadapi masa kritis dari pandemic gelombang pertama, saya mulai memikirkan banyak hal tentang kematian. Terutama tentang bagaimana jika kematian itu menghampiri kembali. Apa yang akan terjadi pada saya nanti ?

Akhirnya, saat saya ke Gramedia, saya menemukan sebuah buku tentang HOW TO DIE. Sebuah pandangan tentang bagaimana menghadapi kematian oleh filusuf Romawi, Seneca.

"Barang siapa tidak memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk." - Seneca

Bagi Seneca, sepanjang hidup seseorang sesungguhnya ia harus mempersiapkan kematiannya karena kehidupan. Apabila dipahami dengan sungguh-sungguh, kehidupan ini adalah sebuah perjalanan menuju kematian. Setiap hari kita dihadapkan pada kematian bahkan sejak lahir.

Menurutnya, "Dalam kerangka yang lebih luas, semuanya itu sesungguhnya baik-baik saja. Karena adanya kesalinghubungan di antara segala hal." (James S. Romm. 2019. Hal : x)

Mati bagi Seneca merupakan bagian terpenting dalam kehidupan. Satu-satunya bagian dari hidup yang tak bisa dipelajari ataupun diasah dengan pengulangan.

"Kita butuh seumur hidup mempelajari cara untuk hidup, kita juga butuh seumur hidup untuk mempelajari cara mati."

Pun dalam ilmu tasawuf kita sering mendengar "matilah sebelum kamu mati". Yang apabila dipelajari dengan seksama, kalimat ini memiliki makna luas, bukan makna secara harfiah.

Bagi yang belajar tentang mistik dalam dunia Islam, prinsip ini tentu menjadi bagian terpenting dalam perjalanan mencari Tuhan. Karena tanpa prinsip ini, kita akan menghadapi begitu banyak macam hijab dalam perjalanannya dan kesulitan menghadapinya.

Sebagian ulama tasawuf menjelaskan bahwa "matilah sebelum kamu mati" berkenaan dengan bagaimana kita menundukan hawa nafsu dan unsur-unsur hewani dan hewan buas dalam diri manusia. Sehingga nantinya jiwa kita menjadi jiwa samawi yang bisa tumbuh subur apabila ditanami oleh bibit-bibit cinta sejati.

MEMPERSIAPKAN DIRI


Sebagaimana agama mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian, pun Seneca juga mengatakan hal yang sama. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya harus mempersiapkan dirinya menghadapi kematian.

Dalam suratnya yang ia tujukan pada Lucilius, Seneca mengatakan bahwa "kita mengira kematian hanya akan tiba sesudah kehidupan, padahal sebenarnya kematian datang sebelum dan sesudah kehidupan. Apapun yang ada sebelum kita ada adalah kematian. Apa artinya jika kau mati atau tidak pernah dilahirkan ? Keduanya sama-sama berarti kau tidak pernah ada."

Pandangan ini mengingatkan saya bahwa sejatinya manusia itu memang fana. Tidak pernah ada. Yang ada hanyalah Yang Maha Ada, Allah SWT. Jadi mengapa kita terkadang merasa lebih wah dibandingkan yang lain ?

Dengan memahami sudut pandang Seneca ini, sebagai manusia saya menjadi sadar. Mengapa Islam menginginkan kita menjadi manusia yang rendah hati ? Dan menundukkan egonya ? Karena suka tidak suka, kita hakekatnya memang tidak pernah ada.

Pemikiran ini yang pada akhirnya bisa membuat saya melepaskan diri satu per satu dari ambisi-ambisi yang dulu pernah saya bangun. Pelan-pelan saya mulai mengikis mimpi-mimpi yang pada akhirnya tidak terlalu memberi arti apa-apa tentang hidup ini kecuali kesementaraan.

Kata Seneca pada Lucilius, "puji dan contohlah orang yang tidak takut mati, sekalipun hidup itu menyenangkan; apa utamanya pergi karena dicampakkan ? Tetapi di situpun ada kebijaksanaanya : aku dicampakkan, tetapi aku memang memutuskan untuk pergi. Orang bijak tidak akan pernah merasa dicampakkan, karena dicampakkan berarti diusir dari tempat yang dengan terpaksa kau tinggalkan; orang bijak tidak pernah melakukan sesuatu karena paksaan; ia terlepas dari keharusan itu karena ia mengingini yang ditimpaka. keterpaksaan pada dirinya " (surat-surat 54).

JANGAN MERASA TAKUT


Dalam karyanya tentang Ihwal Ketenangan Pikiran 14. 4-7, Seneca menjelaskan tentang Julius Canus yang dia gambarkan sebagai sosok yang luar biasa mengagumkan saat terlibat dalam perseteruan yang panjang dengan Caligula.

Saat Caligula meninggalkan ruangan, ia berkata " supaya kau tidak terbuai oleh angan-angan absurd, aku perintahkan kau dieksekusi." Canus membalas, "Terima kasih, penguasa terbaik." (James S. Romm. 2019. Hal : 19)

Seneca tidak mampu membayangkan apa yang sesungguhnya Canus pikirkan saat itu. Dalam benaknya ia memiliki beberapa kemungkinan tentang apa yang dipikirkan oleh Canus saat merespon Caligula dengan cara seperti itu :

  • Apa Canus sebenarnya ingin menghina kaisar dengan memperlihatkan betapa agung kelalimannya sehingga kematian pun bagaikan anugerah ?
  • Atau dia sedang ingin mencela kegilaan sang kaisar (sebab orang-orang yang anaknya dihukum mati, atau hartanya dirampas, mengucap syukur dengan cara itu) ?
  • Atau apakah dia menerima hukuman itu dengan senang hati sebagai hadiah berupa kebebasan ?

Apapun alasannya, balasan Canus memperlihatkan keluasan berpikirnya.

Kisah ini mengingatkan saya pada suatu momen. Di mana saya merasa ada dalam kondisi yang diteror oleh kematian. Namun Allah SWT, memperlihatkan kepada saya tentang keagunganNya melalui firmannya : "sebaik-baiknya tempat kembali adalah disisi TuhanNya."

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اِنَّا نَحْنُ نُحْيٖ وَنُمِيْتُ وَاِ لَيْنَا الْمَصِيْرُ  
innaa nahnu nuhyii wa numiitu wa ilainal-mashiir

"Sungguh, Kami yang menghidupkan dan mematikan, dan kepada Kami tempat kembali (semua makhluk)." 
(QS. Qaf 50: Ayat 43)


Setiap kali teror kematian itu menghampiri saya selalu mengingat firmanNya. Dengan mengingatNya saya merasa bahwa tak ada yang lebih indah dari apapun kecuali kembali kepadaNya. 

Toh di dunia ini sejatinya kita sedang menuju pulang kepadaNya. Jadi apa bedanya waktu pulang itu nanti atau sekarang ? Pun tujuan perjalanannya juga sama.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّا سِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَآءِ وَا لْبَـنِيْنَ وَا لْقَنَا طِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَا لْفِضَّةِ وَا لْخَـيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَا لْاَ نْعَا مِ وَا لْحَـرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَا عُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَا للّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰ بِ

zuyyina lin-naasi hubbusy-syahawaati minan-nisaaa-i wal-baniina wal-qonathiiril-muqongthoroti minaz-zahabi wal-fidhdhoti wal-khoilil-musawwamati wal-an'aami wal-hars, zaalika mataa'ul-hayaatid-dun-yaa, wallohu 'ingdahuu husnul-ma-aab

"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 14)



Rasa ini akan sangat menenangkan apabila sebelumnya kita memang sudah mempersiapkan diri untuk menghadapNya. 

Ketakutan akan muncul apabila kita tidak tahu menahu tentang tujuan kita sebenarnya di dunia ini. Pun ketakutan itu akan muncul jika hati kita tidak merasa siap apabila malaikat maut akan menjemput.

JANGAN ADA PENYESALAN


Berikutnya adalah kutipan surat Seneca yang ia kirimkan pada Lucilius. Ia mengatakan pada Lucilius bahwa ia ingin berhenti mengingankan apa yang diinginkannya. Ia tidak menginginkan hal yang sama seperti yang ia inginkan saat masih kanak-kanak.

Seneca mengusahakan bahwa "setiap hari adalah waktu singkat seluruh hidupnya". Ia berpikir bahwa hari ini adalah menjadi hari terakhirku, tapi ia menjalaninya seolah-olah hari ini "bisa jadi" adalah hari terakhirnya.

Dengan cara itu ia menikmati hidupnya tanpa perlu banyak menghabiskan waktu untuk menghitung berapa lama lagi sisa hidupnya.

Seneca mengatakan, "Kita harus siap menghadapi kematian sebelum bersiap untuk kehidupan. Kehidupan kita sudah lengkap, tetapi kita masih saja mendambakan perlengkapan lain, seakan ada yang kurang, dan selalu saja akan ada." (James S. Romm. 2019. Hal. 47-48)

Dalam pandangan ini Seneca mengajarkan saya tentang rasa syukur terhadap apapun yang ada dihadapan kita. 

"Merasa cukup/contentment" adalah anugrah Tuhan untuk jiwa yang tenang. Ia tak lagi membabi buta mencari perlengkapan yang seakan kurang. Padahal sesungguhnya apa yang kita butuhkan sudah lengkap.

Pada praktiknya, mindset ini memang tidak mudah. Akan ada ketakutan-ketakutan yang seolah-olah selalu mengejar. Terutama yang berhubungan dengan kebutuhan hidup pokok. Pun Allah SWT juga berfirman bahwasannya manusia itu akan diuji dengan beberapa hal, salah satunya kemlaratan.

Pandangan Seneca ini tak jauh beda dari ngajinya Gus Baha yang mengatakan bahwasannya manusia itu susah sekali untuk bersyukur. Dia akan bersyukur hanya jika mendapatkan banyak uang, punya mobil, rumah, terkenal atau naik jabatan. Padahal, kamu makan itu juga karunia Tuhan. Kamu bisa nafas, tidur, ngopi dll itu juga karuniaNya. "Mau bersyukur aja nunggu kaya dulu."

Belajar dari Seneca, saya pun jadi berpikir bahwa hidup itu adalah "hari ini". Bukan masa lalu apalagi masa datang. Karena bisa jadi, hari ini adalah hari terakhir kita di dunia. 

Mindset ini membuat saya jadi lebih bisa menghargai waktu. Dan juga mengungkapkan beberapa hal pada orang-orang terkasih agar kelak saya tidak menyesal karena lupa memberitahukan mereka.

Ada momen di mana dulu saya menyesal karena tidak sempat mengatakan sesuatu pada orang yang saya cintai. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman masa lalu, saya memberanikan diri untuk mengungkapkan sesuatu pada mereka meskipun responnya mungkin bukan hal yang baik bagi saya. Karena saya tidak ingin lagi hidup dalam penyesalan yang panjang hanya karena ketakutan saya menyampaikan sesuatu pada orang yang tercinta.

Entah kata-kata itu akan berguna baginya atau tidak, yang terpenting saat itu saya tulus menyampaikannya. Selebihnya adalah pilihan mereka untuk meresponnya.


Daftar Pustaka : 

Romm, James S. 2019. How To Die: Sebuah Panduan Klasik Menjelang Ajal. Jakarta: Gramedia.

Post a Comment

0 Comments