Blog Seni Indonesia - ewafebriart.com | PELUKIS TERKENAL DUNIA, VAN GOGH.
Ngomongin tentang Van Gogh itu rasanya ngilu banget sebenarnya. Apalagi pas saya tahu kisah hidupnya yang tragis. Selama ini saya hanya mengenal sosoknya lewat karyanya yang sering menjadi sasaran bully manusia zaman ini. Saya tidak pernah dengan serius memahami apalagi mempelajari tentang kisah hidupnya. Namun, gegara tulisan saya tentang topik Teknik Pointilism, akhirnya saya tertarik untuk mengulasnya lebih dalam lagi.
PELUKIS TERKENAL DUNIA, VAN GOGH.
Bukan hanya karyanya yang bernasib tragis dengan menjadi sasaran bully orang-orang yang berkedok mencari penghargaan diri, perjalanan hidup senimannya pun juga tergolong sangat tragis. Bahkan kematiannya juga menjadi akhir kisah hidup yang sangat dilematis. Apa sebenarnya yang terjadi dengan tokoh kita yang satu ini ?
A. BIOGRAFI
Saya tidak begitu asing dengan namanya, Van Gogh, karena dulu, ketika saya masih aktif bekerja di toko alat lukis, saya sering bergaul dengan brand yang menggunakan namanya ini. Sebagai orang awam yang mendadak bekerja di bidang seni (meski terpaksa karena uang), akhirnya saya pun mulai terbiasa dengan nama-nama brand yang cukup aneh dan menggelitik.
Dulu kala, saya gak pernah tahu bahwa nama brand dalam peralatan lukis itu biasanya diambil dari nama-nama seniman terdahulu. Sebut saja merk Rembrandt, Cotman, Daniel Smith, dll. Saya kira ya asal nama atau bermakna sesuatu gitu, owh ternyata. Bentuk penghormatan bagi para seniman. Hehehe..
Masih fresh di benak kita, ketika beberapa waktu lalu, di tahun 2022, karya Van Gogh sempat dilempari sekaleng saus tomat oleh dua orang aktivis wanita. Bahkan ketika ia meninggal pun, orang masih saja merasa iri dengan keberadaannya, hihihi.. sehingga karyanya menjadi sasaran. Entahlah, siapa yang gak waras dalam hal ini ?
Van Gogh terlahir dengan nama lengkap Vincent Willem Van Gogh. Ia lahir pada 30 Maret 1853 di Zundert, Belanda. Ia dikenal sebagai pelukis di era Post Impresionisme yaitu era Pasca Impresionisme yaitu gerakan seni di Prancis yang berkembang pada tahun 1886-1905.
Van Gogh termasuk pelukis yang sangat produktif. Setidaknya tercatat 2100 karya telah ia ciptakan semasa hidupnya. Termasuk di antaranya ada 860 karya dengan media cat minyak, 43 karya self potrait (1885-1889), dan tema lainnya seperti landscape, still life, serta potrait.
Masa terproduktifnya justru di tahun-tahun terakhir hidupnya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya karya Van Gogh yang diberi tanggal produksi dalam 2 tahun sebelum kepergiannya.
Sebelum memutuskan untuk menjadi pelukis, Van Gogh terlebih dahulu terjun ke dunia lukis melalui jalur Art dealer. Yaitu orang yang berprofesi sebagai penjual sekaligus pembeli lukisan. Intinya ngurusin jual beli lukisan lah. Hehehe.. Ya mungkin kalo sekarang kan banyak karya lukis yang dikelola melalui pelelangan.
Salah satu ciri khas dari lukisan Van Gogh yang paling menonjol selain goresan kuas dan juga pattern yang digunakan adalah pemilihan warna-warna gelap atau deep, sehingga memberikan kesan lebih dramatis. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan Van Gogh pada saat itu ya ? Suram ! Goresan kuas yang sangat ekspresif menyiratkan karyanya sebagai media katarsis untuk psikologinya. Ia mengalami kondisi depresi yang cukup parah dan kemudian memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di usia 37 tahun, tepat pada 29 Juli 1890, di Auvers-sur-Oise, Prancis.
B. KARIER
Dimulai dengan menjadi Art Dealer atau orang yang memiliki profesi sebagai penjual dan pembeli lukisan, membawa Van Gogh pada dunia seni yang sesungguhnya. Ia tidak lagi menjadi perantara namun juga sebagai seseorang yang menciptakan karya.
Perjalanan karirnya memang tak pernah mulus. Karena banyak hal yang terjadi dalam hidupnya. Justru peristiwa yang “tidak baik-baik saja” itulah yang akhirnya menjadi sebuah karya baginya. Van gogh memiliki saudara laki-laki yang bernama Theodarus Van Gogh atau dikenal dengan nama Theo. Dua saudara ini begitu dekat dan saling mendukung satu sama lainnya. Meskipun begitu, tentu ada juga moment di mana Van Gogh dan Theo tidak akur.
Apalagi mereka sempat tinggal satu rumah ketika keduanya telah beranjak dewasa. Walaupun masa ini tidak berlangsung lama. Dengan depresi parah yang dideritanya, tentu membuat kakak adik ini sulit berkomunikasi dengan normal seperti pada hubungan keluarga lainnya.
Selama tinggal terpisah dari keluarganya, Van Gogh rajin memberikan kabar melalui surat menyurat. Dan surat-surat inilah yang menjadi manuskrip tentang kehidupan Van Gogh secara personal. Kita bisa mengetahui apa yang terjadi dengan hidupnya, justru dari isi surat menyurat yang dilakukan bersama keluarga dan koleganya.
Saya jadi ingat buku The Perk Of Being A Wallflower, di mana Stephen Chbosky bercerita dengan menggunakan surat menyurat. Ya, walaupun untuk bisa menyelesaikan satu buku itu, saya butuh usaha keras. Bukan format suratnya yang tidak dipahami, namun ternyata ia berbicara dengan jiwanya melalui surat. Sebenarnya sih semacam Journaling gitu kali ya ? Tetapi si tokoh utamanya ini membuat jurnalnya seperti dia mengirimkan surat kepada orang lain. Terlepas dari itu semua, seru banget ceritanya. Kalian harus menyempatkan baca bukunya, hahaha !
Back to Van Gogh, ada sekitar 600 surat yang dikirimkan Van Gogh kepada Theo dan sekitar 40 surat yang dikirimkan oleh Theo ke Van Gogh. Ada 22 surat yang ia kirimkan kepada saudara perempuannya Wilhelmina Jacoba Van Gogh. 58 surat dikirimkan Van Gogh kepada pelukis Anthon Van Rappard, 22 surat dikirimkan kepada Emile Bernard, dan juga surat yang ia kirimkan kepada Paul Signac, Paul Gauguin, dan kritikus Albert Aurier.
Di antara surat itu ada juga yang dibarengi dengan sketsa. Bahasa yang digunakan pun beragam. Ada 3 bahasa, bahasa Belanda, bahasa Prancis dan bahasa Inggris. Van Gogh ini adalah seorang seniman sekaligus polygot.
Ada seorang seniman wanita yang sering disebutkan oleh Van Gogh dalam suratnya, Jules Breton. Tahun 1875, Van Gogh mengirimkan surat kepada Theo dan menceritakan tentang Jules, serta membahas tentang karya dan bukunya.
Di tahun 1884, ia mengirimkan surat kepada Rappard dan membahas tentang puisi Jules yang memberikan inspirasi untuk karyanya. Bahkan yang menarik adalah ketika di tahun 1880an ia memutuskan untuk berjalan sejauh 80 km hanya demi bertemu dengan Mbak Jules, namun ia menghentikan aksinya karena merasa terintimidasi dengan kesuksesan yang diraih oleh Jules. Mungkin saat itu Van Gogh fangirl-ing mbak Jules ya ? Makanya ia rela berjalan kaki sejauh itu untuk menemuinya. Hihihi..
Awal karier Van Gogh justru dimulai dengan menggunakan cat air. Tahun 1882 ia mendapatkan kesempatan untuk membuat karya dari pamannya yang merupakan pemilik Galeri kontemporer di Amsterdam, Ia diminta untuk melukis The Haque. Namun hasil lukisannya tersebut jauh dari ekspektasi dari Sang Paman. Meskipun begitu, ia diberi kesempatan yang kedua untuk melakukannya lagi. Dan hasilnya pun tetap kurang memuaskan.
Di sela-sela kekecewaannya itu, ia tidak menyerah begitu saja. Justru ia kemudian meningkatkan skillnya drawingnya dengan membuat gambar hitam putih (monokrom). Sayangnya, bukan apresiasi yang ia dapatkan, justru malah kritikan. Namun setelah kepergiannya, justru karya yang banyak dikritik tersebut, dianggap sebagai salah satu masterpiecenya.
Theo yang pada saat itu mensupport Van Gogh secara finansial, menyuruhnya untuk melukis dengan mencari gaya baru yang lebih segar di masa itu. Ia kemudian membuat The Potato Eaters, yang mana menurut Theo, hasilnya kurang memuaskan, karena penggunaan warna gelap dalam karyanya.
Tahun 1887, ia membuat Potrait Of Pere Tanguy dengan menggunakan warna yang lebih cerah dari biasanya. Karya ini menurut Theo menjadi salah satu karya yang sukses dan mampu mengubah cara Van Gogh dalam berkarya.
Setelah ia mengubah haluan warna yang digunakannya, Van Gogh mulai berpikir bahwa pemilihan warna yang digunakan itu malah melebihi apa yang bisa dideskripsikan. Menurut Van Gogh,
“Color expresses something in itself.”
Bagi Van Gogh warna kuning merupakan warna yang terpenting dalam karyanya. Ia menganggap warna kuning sebagai simbol dari cahaya Matahari, kehidupan dan Tuhan. Atau hal-hal yang bersifat Ketuhanan (Divine)
Ia juga banyak melukis tentang landscape di mana ia beranggapan bahwa ada kekuatan tersembunyi di balik alam semesta. Untuk bisa mendapatkan kekuatan tersebut dan mengungkapkan rahasia kekuatan alam pada lukisannya, ia banyak menggunakan simbol-simbol. Terutama memanfaatkan warna sebagai medianya dalam bercerita.
Lukisannya tentang bunga mengandung banyak simbol di dalamnya. Namun ia memutuskan untuk membuat simbolnya sendiri dibandingkan menggunakan simbol-simbol yang biasanya dipakai sebagai ikon dalam pandangan umat Kristiani masa itu. Yang namanya orang lagi berkembang, tentu banyak terpaan yang datang untuk menjatuhkan. Dan itu biasa dalam hidup, ya kan ? Hal ini juga terjadi pada karyanya yang Starry Night, di mana ia dianggap terlalu lebay oleh banyak kalangan. Kenyataannya, sekarang lukisan tersebut yang malah terkenal ya ? Hehehe..
Kalo dipikir-pikir, banyak orang yang mengkritik itu biasanya memang berdasarkan rasa iri dan dengki ya ? Pun hal ini juga pernah diungkapkan oleh Leonardo Da Vinci. Apalagi kalo karya tersebut berasal dari orang yang sebelumnya diremehkan dengan kata-kata, “apa iya dia bisa begitu ?”. Begitu Allah menunjukkan kuasaNya akan kemampuan orang tersebut, kritikan pun mulai menghujani secara bertubi-tubi.
Memang sih, ada kebijaksanaan tersembunyi yang Tuhan sembunyikan dalam bentuk kritikan yang diberikan oleh manusia. Dan sebagai orang yang menerima kritik, kita juga harus bisa meresponnya secara bijaksana. Sehingga kritikan itu tidak menjadi alat penghancur bagi kita.
Caranya tentu dengan meminta petunjuk kepada Allah SWT, hehe.. Hanya dengan petunjukNya lah kita bisa menghadapi setiap kritikan dengan santuy ! Dengan begitu kita bisa membedakan mana kritikan yang membangun dan mana kritikan yang hanya ingin menghancurkan dengan jelas. Hahaha...
C. KARYA
Van Gogh menjadi tokoh terkenal, justru setelah kematiannya. Orang-orang baru menyadari tenang kejeniusannya dalam mengekspresikan dirinya dalam karya melalui goresan dan pilihan warna yang digunakannya. Ia begitu percaya bahwa warna mampu mengungkapkan sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan dalam sketsa atau objek gambarnya. Ia memberikan warna sebagai simbol dari apa yang ditangkapnya dari alam sekitar.
Beberapa karyanya yang terkenal adalah sebagai berikut :
STARRY NIGHT OVER THE RHONE, 1888
Starry Night Over The Rhone adalah lukisan yang ia buat di bulan September, 1888. Lukisan ini terinspirasi saat Van Gogh berada di Arles. Mengapa diberi judul Starry Night Of The Rhone ? Karena saat melukis karya ini, ia berada di sebuah Bank di area Rhone tak jauh dari Yellow House, tempatnya beristirahat kala itu.
“ I often think the night is more alive and more richly colored than the day. “ ~ Vincent Van Gogh.
Penjelasan tentang karya ini juga disebutkan pada salah satu surat yang kirimkan kepada saudaranya Theo. Dalam suratnya ia menjelaskan tentang detail warna yang ia gunakan dalam lukisan. Ia menjelaskan bahwa langitnya menggunakan nwarna Aquamarine, airnya menggunakan warna royal blue, tanahnya menggunakan warna mauve, sementara kotanya menggunakan warna blue dan purple. Sebuah kombinasi warna yang mengharu biru. Kini karya ini disimpan di Musee d’Orsay, Paris, Prancis.
Gambaran ini sesuai dengan apa yang dirasakan Van Gogh kala itu. Setidaknya dari pilihan warna ini kita bisa menduga bahwa cara dia melihat kehidupan itu cenderung suram. Seberapa pun usaha kita untuk mengubah perasaan itu dengan cara mengganti warnanya, rasanya tidak akan mampu mengubah apa yang kita rasakan. Karena terkadang pilihan warna itu dikendalikan oleh emosi.
Hal ini juga pernah saya alami. Entah kenapa, setiap saya membuat suatu karya, tangan dan otak saya itu selalu memilih warna gelap, meskipun saat itu objek yang ingin saya lukis tentang kegembiraan. Ternyata konsep itu tentap saja bisa mengalahkan emosi kita, sehingga apa yang keluar dan menjadi wujud nyata dari karya itu sendiri sangat dipengaruhi oleh emosi yang kita rasakan.
Dan sejujurnya saya pun juga sedang berjuang untuk keluar dari zona ini. Saya ingin mengendalikan pilihan warna dengan menggunakan akal sehat, hahaha.. Namun semakin saya coba untuk keluar dari zona ini, rasanya semakin sulit. Pada akhirnya saya mulai memahami bahwasannya
“melukis itu memang tak akan bisa kita pisahkan dari psikologi, apalagi masalah hati. Jadi seberapa pun usaha kita untuk melawannya, rasanya malah membuat kita terjebak di dalamnya. Toh, bukankah memang sudah seharusnya lukisan itu mampu mewakili emosi yang kita rasakan ? “
Dari pilihan cover dan palet warna di ebook ini pun kalian bisa memahami maksud saya. Hahaha.. Entahlah ! Biarkan saja warna berbicara apa adanya , seperti halnya facial expression yang mewakili apa yang kita sembunyikan dalam hati. Hihihi.. Setiap hal yang tersembunyi akan selalu ada media pengungkapnya. Jika sudah pada waktunya !
OLIVE TREES WITH ALPILLES IN THE BACKGROUND, 1889
Olive Trees With Alpilles In the Background adalah lukisan dengan cat minyak yang dibuat di tahun 1889 dengan ukuran 92 cm x 72.5 cm. Lukisan dengan objek Olive Tree ini memiliki makna luar biasa bagi Van Gogh. Bagi Van gogh, karya Olive Tree yang ia ciptakan di bulan May 1889 merupakan serangkaian karya yang ia gunakan untuk mempersembahkan kehidupan, siklus kehidupan dan bersifat Ketuhanan.
Sementara karya yang ia ciptakan di bulan November 1889 merupakan simbol yang ia gunakan untuk mempresentasikan perasaannya tentang Jesus yang melakukan doa penghambaan pada Tuhan pada kaki bukit Zaitun di Yerusalem, Gethsemane.
Karya Van Gogh dengan objek Pohon Zaitun merupakan sebuah simbol tentang perjalanan spiritualnya, yang tidak ia dapatkan di lingkungan gereja. Dalam kurun waktu 29 bulan dalam hidupnya, dia konsisten melukis tentang nature sebagai katarsis tentang apa yang dirasakan olehnya. Terutama tentang mengekpresikan rasa sakit dan depresinya.
Meskipun ia menemukan “Tuhan”, namun ia justru meninggalkan ritual resmi keagamaannya karena kekecewaan yang ia dapatkan dari orang tuanya. Ia merasa, cara pandang orang tuanya mengajarkan tentang agama kepadanya dianggap terlalu sempit, sehingga tidak mampu memuaskan rohani melalui jalur agama.
Justru dari mekarnya bunga-bunga, pemandangan sawah dan berjejernya Pohon Zaitun, ia belajar dan mengenal tentang Tuhan. Ia melihar perubahan alam sebagai sebuah analogi tentang kehidupan manusia. Dia bahkan mengungkapkan kepada Theo tentang makna alam semesta baginya. Ia menuliskan bahwasannya,
“Death, happiness and unhappiness are necessary and useful and relati.” dengan mengatakan, “Even faced with an illness that breaks me up and frightens me, the belief is unshaken.”
Sayangnya keyakinannya tersebut tidak bisa berlangsung lama ya ? Karena pada akhirnya ia menyerah pada kehidupan dengan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Atau... mungkin dia berpikir seperti halnya Seneca, yang menganggap bahwa kematian adalah sebuah pilihan yang ditentukan oleh orang yang bersangkutan. Pandangan ini juga pernah saya bahas dalam buku The Art Of Life.
Apapun cara hidup dan cara mati yang dipilih oleh Van Gogh merupakan bagian dari perjalanan hidupnya. Sebagai manusia yang juga diberikan oleh Allah SWT sebuah pilihan tentang kehidupan, setidaknya kita bisa menjalankannya dengan tanggung jawab dan rasa syukur. Karena dengan menerima apa pun yang telah Allah tetapkan dalam hidup kita adalah bentuk rasa syukur yang tak terkira. Kini karya ini disimpan di Museum Modern Art, New York. Sebuah karya penanda bagi kehadiran Tuhan dalam kehidupan Vincent Van Gogh.
MEMORY OF THE GARDEN AT ETTEN, 1888
Memory Of The Garden At Etten adalah lukisan cat minyak karya Van Gogh yang ia ciptakan pada bulan November 1888 di Arles. Ukuran lukisan ini 73.5 cm x 92.5 cm. Saat ini lukisan tersebut disimpan di Hermitage Museum, St. Petersburg. Lukisan ini merupakan dekorasi ruangan yang dipasang di kamar Van Gogh ketika ia menetap di Yellow House.
The Garden At Etten adalah sebuah taman yang pernah dikunjungi oleh ayahnya, yaitu Pendeta Theodorus Van Gogh, di tahun 1875. Vincent menghabiskan beberapa waktu di tempat ini. Tercatat dari waktu hari raya Paskah hingga natal pada tahun 1881.
Era Van Gogh ia berada di Etten merupakan masa krusial bagi kariernya. Pada masa ini, ia sangat produktif dalam membuat karya sekaligus mengembangkan teknik-tekniknya. Ia mengeksplorasi tentang skillnya dan bagaimana ia menciptakan suatu karya. Anthon Van Rappard pernah mengunjunginyan di masa ini. Ia menghabiskan waktu bersama Van Gogh dengan membuat sketsa di sekitar area Etten, selama kurang lebih dua belas hari.
Di Etten jugalah Van Gogh mendapatkan pengalaman yang kemudian mempengaruhi hidupnya. Cintanya pada sang sepupu Kee Vos-Stricker berakhir dengan penolakan. Obesesi Van Gogh pada sepupunya menjadi skandal keluarga, yang membuat hubungannya dengan keluarga menjadi lebih rumit dan memburuk. Bahkan di malam Natal, ia sempat berdebat dengan sang Ayah karena hal ini.
Gaya lukisan ini terinspirasi oleh cara Gauguin dalam berkarya. Ia membuat karya dengan cara mengimplementasikan sudut pandang Gauguin dalam berkarya. Dalam karya ini, ia menggunakan ibu dan adiknya sebagai objek gambar. Sementara figure seorang gadis termuda dalam karya ini disinyalir merupakan Kee Vos Striker. Walaupun penjelasannya dalam karya ini memang tidak gamblang tentang siapa figur tersebut.
Berdasarkan surat yang dikirimkan Van Gogh kepada saudaranya Wilhelmina, Van Gogg menjelaskan secara detail tentang scene yang ada dalam lukisan. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin melukiskan sosok seorang Ibu secara kaku, seperti umumnya para pelukis melukiskan sebuah potrait bagi orang terkasih. Ia ingin menyamarkan tentang sosok ibu dan saudaranya dalam balutan karya yang dekoratif.
Wilhelmina adalah sosok yang puitis. Ia menggambarkan karakternya dengan simbol bunga serta pilihan warna yang beraneka ragam. Bagi Van Gogh bunga dengan keindahannya mampu mewakili karakter Wilhelmina. Sementara karakter Sang Ibu ia tampilkan dengan memilih paduan warna violet dan kuning.
Dari lukisan ini saya belajar tentang bagaimana cara kita menumpahkan ide dan gagasan dengan menggunakan warna sebagai simbol, sekaligus media untuk mempresentasikan karakter seseorang.
Mungkin Van Gogh memiliki kamus warna dalam pikirannya, yang ia gunakan untuk menampilkan karakter dari objek yang dilukisnya. Jadi, ketika kita berkarya dan seolah warna yang kita gunakan itu-itu aja, anggap saja memang kita punya kamus warna tersendiri. Hahaha...
EUGENE BOCH (THE POET AGAINTS A STARRY SKY) 1888
Eugene Boch adalah karya yang sebenarnya terinspirasi dari kekaguman Van Gogh terhadap Paul Gauguin. Walaupun Van Gogh tidak menggambarkannnya secara eksplisit. Namun berdasarkan surat yang ia kirimkan pada Theo, ia mendeskripsikan tokoh yang ia lukis tersebut, sebagai “The Poet”, adalah Paul Gauguin. Saat ini karyanya disimpan di Musee d’Orsay, Paris.
Van Gogh mengagumi Paul Gauguin sehingga ia pun terpengaruh dengan gaya lukisnya. Namun suatu kejadian Di Yellow House, membuat Gauguin akhirnya pergi meninggalkan Van Gogh. Terlebih di masa itu, depresi Van Gogh sangat parah, ia bahkan memotong telinga yang membuat Gauguin pada akhirnya pergi meninggalkannya.
Dalam surat yang ia tujukan pada Theo, ia mengatakan,
“ A first sketch of this picture of which i have a long dreamt – the poet”.... “I should like to paint the potrait of fellow artist who dreams great dreams [...] behind the head [...] i paint infinity, i give it a plain background of the richest, the most intense blue."
Ide dan gagasan Van Gogh tentang “the poet” terinspirasi dari karya Carlyle yang berjudul On Heroes, Hero-Worship and The Heroic in History. Di mana sang penyair bercerita tentang sosok Dante dalam chapternya. Sebagai penyair, Carlyle mengganggap Dante sebagai sosok yang “infinite”, memiliki “ketidakterbatasan” dalam dirinya. Mungkin bisa kita anggap sebagai manusia yang “out of the box” ya ? Dan deskripsi ini, bagi Van Gogh ia temukan pada diri Paul Gauguin. Bahkan secara fisik pun menurut Van Gogh, Gauguin ini memiliki kemiripan seperti si Dante. Hehehe..
Pada dasarnya Van Gogh berharap bahwa yang menjadi model dalam lukisan tersebut adalah Gauguin. Namun karena sang sahabat tak kunjung muncul, akhirnya ia meminta Eugene Boch sebagai model untuk lukisannya. Bagian background yang menggunakan warna biru dengan patern bintang, bagi Van Gogh menjadi sebuah simbol tentang aspirasi yang kekal. Tak termakan oleh waktu. Sementara warna figure yang sangat kontras dengan warna background merupakan ekspresi gagasan/ide dari sebuah wajah (karakter manusia).
Sebenarnya lukisan ini sempat difigura dan digantung oleh Van Gogh di atas tempat tidurnya. Mungkin ia berharap Paul Gauguin akan muncul kembali dan melihat lukisan ini. Di awal bulan October, 1888 Van Gogh mencoba mentranformasikan karya ini menjadi Tableau, namun ia merasa tidak puas dengan hasilnya, oleh sebab itu ia pun menghancurkan kanvasnya. Pada akhirnya karya tersebut tidak pernah terselesaikan hingga akhir hayatnya. Kini lukisan ini disimpan di Musee d’Orsay, Paris.
Sama seperti kisah pengharapan yang dimiliki oleh Van Gogh terhadap kehadiran Gauguin yang tak pernah datang (alias menggantung) pun karya tersebut berakhir sama. Tidak memiliki akhir yang memuaskan. Hihihi..
Saya jadi ingat kisah dari Jalaludin Rumi dan Shams Tabrizi, di mana Rumi akhirnya mendapatkan pencerahan setelah ditinggal pergi oleh gurunya. Pun hal ini juga terjadi pada Van Gogh walaupun kisah ini baginya justru menyebabkan akhir hidup yang tragis.
Tuhan sesungguhnya selalu mengirimkan seseorang dalam hidup kita untuk mengajarkan kita tentang potensi yang kita miliki, walaupun cara ini tersamar. Orang-orang ini memang tidak ditakdirkan selamanya ada dalam hidup kita.
Mereka hanya datang untuk memberikan sebuah clue tentang rencana besar Tuhan dalam kehidupan kita. Pun saat saya memutuskan untuk serius menulis, Tuhan juga mengirimkan seseorang berserta skenario di dalamnya yang membuat saya mencari makna dari hidup yang sesungguhnya. Dengan skenario itu, akhirnya membuat kita sadar dan belajar menggali potensi yang tertanam dalam diri.
SELF POTRAITS
Dalam sejarah perjalanan karya seni Van Gogh, tercatat ada sekitar 43 lukisan dalam kurun waktu 1885 dan 1889. Dan hampir semua karya self potraitnya merupakan karya utuh (sudah jadi) siap dipamerkan. Di antara karya itu, banyak yang ia buat pada tahun 1887 hingga akhir hayatnya.
Self potrait Van Gogh kebanyakan berpose menatap ke arah kiri depan, namun juga nampak dari samping terutama samping sebelah kanan. Setiap lukisan memiliki background warna yang berbeda-beda meskipun dengan pose yang sama. Ia secara konsisten menggunakan pose yang sama untuk beberapa lukisan.
Sementara lukisan self potraitnya saat menggunakan perban akibat kupingnya yang rusak, menggunakan pose secara berlawanan. Yaitu ia melihat ke arah kanan depan, dan mengekspos bagian kupingnya yang terluka. Salah satu alasan mengapa hampir semua lukisannya memiliki pose yang sama, karena ia menggunakan cermin untuk melihat dirinya.
Sebagai pelukis yang begitu terpengaruh oleh pemilihan warna, tentu setiap self potrait memilliki arti tersendiri untuknya. Salah satunya kita bisa melihat karyanya di tahun 1887-1888, di mana ia memberi tajuk lukisannya dengan nama “Self Potrait With Grey Felt Hat.” yang ia buat saat musim dingin.
Pemilihan warna biru yang gelap membawa kesan tersendiri. Belum lagi karya itu diciptaan saat sedang musim dingin. Biru yang mengharu biru menjadi saksi bisu kisah hidup Sang Maestro yang begitu gelap dan dingin. Grey pada kepalanya seolah bercerita pada kita tentang apa yang sedang ia rasakan saat itu. Ada harapan sekaligus rasa putus asa yang dibalut dalam kehidupan yang gelap.
Self Potrait yang ia ciptakan pada bulan September 1889, ia beri judul Self Potrait Without Beard merupakan lukisan (yang disinyalir) terakhirnya. Ia memberikan lukisan itu sebagai hadiah ulang tahun bagi ibunda tercintanya. Wajahnya nampak bersih dari jenggot yang biasanya menghiasi penampilannya.
Tatapannya pun sangat intense. Seolah mengisyaratkan rasa kecewa dan sakit yang mendalam namun ia pendam. Tak ada senyum di wajahnya. Matanya pun terlihat berair, sebuah bahasa yang ia gunakan untuk mengekspresikan kesedihannya yang mendalam. Ia nampak terhanyut dengan pikirannya sendiri, meskipun matanya terlihat menatap dengan tajam. Dia tidak “sedang” menatap suatu benda, tetapi ia sedang melihat dirinya sendiri dalam keadaan terluka.
Kata terakhir yang ia katakan pada adiknya Theo, “The Sadness will last forever.”
Dalam karya Self Potrait yang ia ciptakan di tahun 1889, nampak dalam lukisan raut wajah dan ekspresi dari Van Gogh yang terlihat memang sedang menderita depresi.
Setidaknya kita bisa mencermati dari ekspresi pada kerut di bagian dahinya, antar alis dan tatapannya yang kosong menghadap lurus ke depan. Bentuk bibir yang terlihat cemberut seolah menahan rasa amarah yang tertahan. Lukisan tersebut mampu mengekspresikan apa yang sedang dialaminya saat itu.
D. WHAT WE LEARN
Membaca kisah hidup Van Gogh membuat saya belajar tentang banyak hal. Mungkin poin saya memang tidak selalu sepakat dengan orang lain, tetapi paling tidak saya bisa melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Poin ini tidak selalu berhubungan dengan karya lukisnya, tapi saya lebih ingin belajar dari beliau tentang bagaimana ia menghadapi hidup.
“I am seeking, i am striving, i am in it with all my life.” ~ Vincent Van Gogh.
Kisah rumit Van Gogh pada akhirnya memang membentuk dirinya pada akhir hayatnya. Mengapa ia memutuskan pergi dengan cara seperti itu menjadi bukti keputusasaannya dalam menghadapi hidup ini. Berawal dari rasa sakit dan kekecewaan terhadap sekitar, membawanya masuk ke dalam dimensi kegelapan. Apalagi ditambah dengan gaya hidupnya sebagai seorang alkoholik.
Belajar dari kisah Walt Whitman dan Van gogh ini seperti dua mata uang yang berbeda. Di sisi lain Whitman adalah orang yang merasa “content” dengan segala hal yang menimpa dirinya. Ia bisa menghadapi kritikan yang ditujukan kepada dengan rasa percaya diri.
Dia memahami valuenya sendiri. Sementara Van Gogh justru sebaliknya. Ia begitu menggantungkan dirinya kepada sesuatu di luar dirinya. Di antara kisahnya, ia pernah menggantungkan kebahagiaannya kepada wanita yang ingin dinikahinya (yang notabene sepupunya). Penolakan yang ia terima dari sepupunya, membawa di ke level gelap dalam hidupnya.
Ia tidak mampu menangani luka hatinya dengan baik, sehingga membawa luka itu hingga akhir hayatnya. Belum lagi ia harus menghadapi berbagai macam nyinyiran dan kritikan yang dialamatkan kepadanya, sehingga beban hidupnya pun makin bertambah. Gaya hidup alkoholik memperparah jiwanya, sehingga ia merasa tidak bisa keluar dari zona gelapnya.
Sebelum menyerah kepada kehidupan, ia juga sempat menggantungkan validasi hidupnya pada Giuguin. Ia begitu takut ditinggalkan, seperti yang dilakukan oleh orang di sekitarnya. Hal inilah yang mungkin membuat luka hatinya semakin dalam. Dia merasa sendiri dan merasa sangat kesepian.
Ketika Whitman merasa biasa saja dengan orang-orang yang meremehkan dan meninggalkannya, hal ini tidak berlaku pada Van Gogh. Justru pengalaman gelapnya memperparah keterpurukannya. Di tengah rasa putus asa itulah, ia pergi ke sebuah taman yang menjadi obyek dalam lukisannya. Dan berteriak pada dunia tentang apa yang tak mampu ia ceritakan dengan kata-kata. Ia menyerahkan nafasnya pada kesepian dan menenggelamkan diri bersamanya, selamanya.
Dari kisah ini saya belajar bahwa :
- Jika kita merasa terluka dari sesuatu yang berada di luar diri kita, jangan mencari obatnya di luar juga. Jika kita merasa kecewa pada dunia, jangan mencari obatnya di dunia juga. Tetapi carilah obat itu dalam dimensi diri kita sendiri, seperti yang dilakukan oleh Marcus Aurelius atau Walt Whitman (baca The Journalist, Free Ebook).
- Alkohol, dkk adalah obat artificial bagi jiwa kita. Percayalah dengan alkohol atau substance lainnya tak akan mampu mengubah perspektif tentang hidup. Yang akan membuat hidup semakin terpuruk. Kandungan alkohol hanya akan membuat hidup kita penuh dengan ilusi dan kebohongan. Tentu kita berharap dengan meminumnya, apa yang kita alami akan lenyap. Faktanya tidak akan begitu ! Kita hanya membohongi diri sendiri, karena begitu otak kita sadar, maka realitas hidup tidak akan pernah berubah. Alkohol dan benda-benda yang kita anggap bisa menghilangkan luka kita dalam sekejap hanyalah fatamorgana. Hihihi..
- Kesepian adalah produk dari manipulasi eksternal dalam hidup kita. Kita terlalu terpaku pada pemikiran bahwa “faktor di luar (eksternal) adalah pemegang kekuasaan atas kebahagiaan hidup kita.“ Entah itu kita gantungkan kepada makhluk, materi, kehormatan atau ilmu pengetahuan sekalipun. Tuhan sudah menganugerahkan “tool” kebahagiaan dalam diri manusia. Hanya saja tergantung manusianya itu sendiri, apakah ingin menggalinya ? Atau justru mengabaikan karunianya tersebut ! (Saya pernah membahas hal ini di ebook The Art Of Life & The Art Of Human’s Intelligence). Jika saja manusia menyadari ajaibnya serta powerfulnya “Qolbu”, tentu kesepian itu tidak akan menjadi penjara baginya.
- Dari kisah Van Gogh saya bisa menangkap bahwasannya “Recognize”, kehormatan dan kemuliaan atau lebih simpelnya “Validasi”, menjadi salah satu hal yang ingin sekali ia dapatkan selama hidupnya. Sayangnya justru hal itulah yang tidak dia dapatkan sehingga membuatnya semakin frustasi. Sementara bagi Whitman hal tersebut tidak menjadi soal, sehingga ia pun bisa menghadapinya dengan lapang dada.
- Belajar dari kisah hidup Van Gogh, pengalaman spiritual pun butuh pendamping ilmu syariat untuk makin memperteguh keimanan seseorang. Karena ilmu hakikat saja tidak cukup menjadi modal untuk memperkokoh iman kita. Karena tanpa ilmu syariat, kita tetap akan bisa tersesat ke dunia yang gelap. Karena sejatinya ilmu syareat diperuntukkan untuk mengatur tentang jasad kita. Ia berfungsi sebagai alat pengatur gaya hidup manusia serta penyambung hubungan antara jasad manusia dengan Tuhan. Sementara pengalaman spiritual adalah koneksi manusia yang terjadi antara kebutuhan rohaninya dengan Tuhan Semesta Alam.
- Memang kita diajarkan untuk memendam amarah dan luka yang diakibatkan dari faktor eksternal. Namun bukan berarti kita hanya menguburnya begitu saja. Luka itu harus tetap disembuhkan, meskipun untuk bisa sembuh butuh waktu yang cukup lama. Apabila kita terus menerus menguburnya, luka itu akan membusuk dan menggerogoti diri kita dari dalam.
Dimensi manusia itu berlapis-lapis. Ada jasad, emosi dan rohani yang masing-masing membutuhkan jaringan yang terhubung pada Tuhan. Dengan begitu keimanannya akan terjaga dengan kokoh. Jika salah satu absen, manusia tetap berpotensi tersesat di dunia yang gelap gulita. Entah itu yang tersesat jasmaninya atau rohaninya. Apalagi sifat dunia ini kan memang penggoda. Menggoda jiwa dan raga kita. Hihihi..
Begitulah hidup terkadang validasi justru membawa kita pada pusaran penderitaan. Sebelumnya pun saya mengalami hal yang sama. Terkadang memang dalam hidup kita selalu ingin merasa dihargai, dipuji, disanjung, dianggap penting, dianggap mampu, dianggap pintar dan lain sebagainya, yang tanpa kita sadari pemikiran itu berubah menjadi dinding ego yang menjulang. Maka ketika kita merasa dikhianati, dibohongi, disakiti, dicaci-maki, direndahkan, diremehkan, dihina dan difitnah, kita akan langsung merespon tanpa memikirkan akibatnya. Padahal kalo dipikir-pikir hal itu biasa aja.
Sekarang saya memiliki trik yang jitu untuk menghadapi luka-luka harga diri itu. Justru saya belajar menekan ego dengan membawa stage level pada titik terendah manusia, yaitu sebagai hamba. Saya menempatkan diri sebagai seorang fakir yang selalu bergantung pada rahmat Tuhan, bukan pada kebaikan manusia. Mindset ini sangat penting, meskipun batas pemahamannya sangat tipis.
Kebaikan manusia terkadang masih memenjarakan. Karena masih terbalut dengan hawa nafsunya. Dan kita tidak pernah tahu seberapa persen perbandingan antara ketulusan/keikhlasannya dan hawa nafsunya. Sementara rahmat Tuhan itu lebih menenangkan jiwa, karena di dalamnya selalu ada kasih sayang yang nyata.
Menggantungkan diri kepada kebaikan manusia hanya akan membawa kekecewaan, namun menghargai dan mengapresiasi tindakan baik mereka adalah hal yang memang perlu diperlukan. Sehingga kita tidak memandang rendah terhadap mereka. Tetapi tentang perlindungan, rahmat, pertolongan dan rezeki, jangan pernah menggantungkannya kepada manusia. Karena hanya kan membawa luka dan kecewa.
Owh iya, kalo butuh material di luar diri kita sebagai obat penat, coba main hujan-hujan deh. Ada fakta menarik tentang air yang saya temukan, bahwasannya :
“75% of Human Brain is water and 75% of a living tree is water.” ~ (Enviromental Protection Agency, Water Facts Of Life, Ride The Water Cycle With These Fun Facts. Washington : Enviromental Protection Agency)
Karena ternyata 75% dari otak kita itu merupakan kandungan air. Makanya kalo kita banyak pikiran dan penat, tentunya kepala jadi sakit kan ? Mungkin otak kita sedang mengalami dehidrasi, karena dari 75% kandungan air itu ada yang tergantikan oleh pikiran, jadi jatah airnya gak cukup kan ya ? Nah, pas kita main hujan-hujanan, bisa jadi guyuran airnya menggenapi jatah air yang seharusnya, jadi otak kita gak dehidrasi deh ! Hahaha.. (Dah lah ini mah cocoklogi !)
Etapi, kalian juga harus tahu di Alquran pun Allah SWT pernah berfirman tentang hal ini, baca QS AL ANFAL ayat 11 deh, yang kurang lebih artinya :
“(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberikan ketentraman dariNya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak kakimu (teguh pendirian).” ~ QS Al Anfal ayat 11
Dari sini saya memahami mengapa ketika mendapatkan guyuran air hujan itu, hati saya selalu merasa tentram. Saya ini adalah seorang pluviophile, di mana saja itu suka banget dengan yang namanya hujan. Saya merasa air hujan itu memiliki sifat terapis saat menyentuh kepala.
“...Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan setan dari dirimu...”
Apa sih produk dari gangguan setan ? Kalo menurut saya sih was-was ! Atau keragu-raguan yang membuat kita menjadi overthinking. Nah overthinking inilah yang kadang menguasai otak kita sehingga menggeser keberadaan air yang seharusnya memenuhi otak. Makanya, jadi dehidrasi kan ? Hihihi..
Saya tahu, pasti di antara “kalian bertanyea-tanyea”, apa iya ulasan di atas fakta ?”, Hahaha.. yang pasti, penemuan kadar air dalam otak kita itu ada datanya dari EPA, sementara air yang berhubungan dengan sisi spiritualis tersebut tercantum dalam Alquran, kalian bisa membacanya sendiri. Selebihnya adalah cara saya memahami peran air dalam kaca mata intektual dan spiritual. Hahaha..
Kalian boleh percaya atau tidak, silakan ! Tapi sesekali kalo pas penat, coba deh main hujan-hujan. Jangan cuma main hujan aja tapinya, sambil dianalisa tentang perubahan yang kalian rasakan juga bagus tuh ! Kira-kira penat kalian akan hilang atau kalian malah kena flu ? Hihihi.. Coba tulis di buku kalian ya ?
Jangan lupa untuk mendapatkan versi lengkap tentang Ebook Artist Of The Month di NIH BUAT JAJAN/ ewafebri atau KaryaKarsa.com/ewafebri.
0 Comments
Dalam beberapa kasus kolom komentarnya tidak mau terbuka, Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.